Cerita
kisah ajaran Dewa Ruci kepada Arya Wrekudara ketika masuk ke dasar
samudera, memenuhi tugas gurunya dalam mencari air penghidupan
(tirtamerta) ditulis pada sekitar abad 19 Masehi, disadur dari bentuk
kakawin (berbentuk tembang) oleh pujangga Surakarta (tidak disebutkan
namanya).
Serat
Dewa Ruci Kidung ini disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan
bahasa yang sangat halus. Bahasa yang digunakan disesuaikan dengan
aliterasi dan asonansi sesuai denga rumus-rumus tembang. Untuk itulah
banyak kita temukan bahasa-bahasa yang tidak mudah dipahami karena
berasal dari bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuno. Dan meskipun
terjemahan ini masih jauh dari sempurna dan memerlukan perbaikan
disana-sini, kiranya tetap dapat berguna untuk pelestarian kebudayaan
kita, dan selanjutnya mohon koreksi kepada pembaca yang budiman tentang hal terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
———— Bebukaning Carita ———–
Kidung Dhandhanggula
Arya
Sena duk puruhita ring, Dhang Hyang Druna kinen ngulatana, toya ingkang
nucekake, marang sariranipun, Arya Sena alias Wrekudara mantuk wewarti,
marang negeri Ngamarta, pamit kadang sepuh, sira Prabu Yudistira, kang
para ri sadaya nuju marengi, aneng ngarsaning raka.
Artinya :
Arya
Sena ketika berguru kepada, Dhang Hyang Druna disuruh mencari, air yang
mencyucikan, kepada badannya, Arya Sena alias Wrekudara pulang memberi
kabar, kepada negeri Ngamarta, mohon diri kepada kakaknya, yaitu Prabu
Ydistira, dan adik-adiknya semua, ketika kebetulan di hadapan kakaknya.
Arya
Sena matur ing raka ji, lamun arsa kesah mamprih toya, dening guru
piduhe, Sri Darmaputra ngungun amiyarsa aturing ari, cipta lamun bebaya,
Sang Nata mangungkung, Dyan Satriya Dananjaya, matur manembah ing raka
Sri Narpati, punika tan sakeca.
Artinya :
Arya
Sena berkata kepada Kakanda Raja, bahwa ia akan pergi mencari air,
dengan petunjuk gurunya, Sri Darmaputra heran mendengar kata adiknya,
memikirkan mara bahaya, Sang Raja menjadi berduka, Raden Satriya
Dananjaya, berkata sambil meyembah kepada Kanda Raja, bahwa itu tidak
baik.
Inggih
sampun paduka lilani, rayi tuwan kesahe punika, boten sakeca raose,
Nangkula Sadewaku, pan umiring aturireki, watek raka paduka, Ngastina
Sang Prabu, karya pangendra sangsara, pasthi Druna ginubel pinrih
ngapusi, Pandawa sirnanira.
Artinya :
Sudahlah
jangan diizinkan, adinda (Wrekudara) itu pergi rasanya itu tidak baik,
Nakula dan Sadewa, juga menyetujui kata-kata Dananjaya, sifat kakanda
tuanku, yang tinggal di Ngastina, hanya ingin menjerumuskan ke dalam
kesengsaraan, tentu Druna dibujuk agar medustai, demi musnahnya Pandawa.
Arya
Sena miyarsa nauri, ingsun masa kenaa den ampah prapteng tiwas ingsun
dhewe, wong nedya amrih putus, ing sucine badanireki, Sena sawusnya
mojar, kalepat sumebrung, sira Prabu Darmaputra, myang kang rayi tetiga
ngungun tan sipi, lir tinebak wong tuna.
Artinya :
Arya
Sena mendengar itu lalu menjawab, aku tak mungkin dapat ditipu dan
dibunuh, karena ingin mencari kesempurnaan, demi kesucian badan ku ini,
setelah berkata begitu, Sena lalu segara pergi, Sang Prabu Darmaputra,
dan ketiga adiknya sangat heran, bagaikan kehilangan sesuatu.
Tan
winarna kang kari prihatin, kawuwusa Sena lampahira, tanpa wadya among
dhewe, mung braja kang tut pungkur, lampah mbener amurang margi, prahara
munggeng ngarsa gora reh gumuruh, samya giras wong padesan, ingkang
kambuh kaprunggul ndarodog ajrih mendhak ndhepes manembah.
Artinya :
Tak
terkisahkan keadaan yang ditinggalkan dalam kesedian, diceritakanlah
perjalanan Sena, tanpa kawan hanya sendirian, hanyalah sang petir yang
mengikutinya dari belakang, berjalan lurus menentang jalan, angin topan
yang menghadang di depan terdengar gemuruh riuh, orang-orang desa
bingung, yang bertemu di tengah jalan gemetar katakutan sambil
menyembah.
Ana
atur segah tan tinolih, langkung adreng prapteng Kurusetra, marga geng
kambah lampahe, glising lampahira sru, gapura geng munggul kaeksi, pucak
mutyara muncar, saking doh ngenguwung, lir kumembaring baskara, kuneng
wau kang lagya lampah neng margi, wuwusen ing Ngastina.
Artinya :
Kesediaan
yang sudah disanggupi tak mungkin ditolehnya, sangat kuat tekatnya
untuk menuju hutan Kurusetra, jalan besar yang dilaluinya, sungguh cepat
jalanya, pintu gerbang tampak dari kejauhan, puncaknya seperti mutiara
berbinar-binar, dari jauh seperti pelangi, bagaikan matahari kembar,
sampai di sini dulu kisah perjalanan Arya Sena Wrekudara, sekarang
dikisahkan keaadaan di negeri Ngastina.
————- Di Negeri Ngastina ————-
Prabu
Suyudana animbali, Resi Druna wus prapteng jro pura, nateng Mandraka
sarenge, Dipati Karna tumut, myang Santana andeling westi, pan sami
tinimbalan, marang jro kadhatun, Dipati ing Sundusena, Jayajatra miwah
sang patih Sangkuni, Bisma myang Dursasana.
Artinya :
Prabu
Suyudana memanggil, Rsei Druna sudah tiba di dalam istana, bersama Raja
Mandaraka, Adipati Karna pun ikut dan sentana/pembesar andalan menumpas
bahaya, semua dipanggil, masuk keistana, Adipati dari Sindusena,
Jayajatra, Sang Patih Sangkuni, Bisma dan Dursasana.
Raden
Suwirya Kurawa sekti, miwah Rahaden Jayasusena, Raden Rikadurjayane,
prapteng ngarsa sang prabu, kang pinusthi mrih jayeng jurit, sor
sirnaning Pandhawa, ingkang dadya wuwus, ajwa kongsi Bratayuda, yen
kenaa ingapus kramaning aris, sirnaning kang Pandhawa.
Raden
Suwirya Kurawa yang sakti, dan Raden Jayasusena Raden Rikadurjaya, tiba
dihadapan Raja, yang disembah agar menang dalam perang, mengalahkan
para Pandawa, yang menjadi dalam pembicaraan, jangan sampai terjadi
perang Baratayuda, bila dapat ditipu secara halus, kemusnahan sang
Pandawa.
Golong
mangkana aturnya sami, Raden Sumarma Suranggakara, anut rempeg samya
ture, wau sira sang prabu, Suyudana menggah ing galih, datan pati
ngarsakna, ing cidranireki, kagagas kadang nak sanak, lagya eca gunem
Wrekudara prapti, dumorojog munggeng pura.
Artinya :
Mereka
sepakat, Raden Sumarma Suranggakara, menyetujui semua pembicaraan,
demikian Sang Prabu, Suyudana dalam hatinya, tidak begitu dirasakan,
tentang kecurangannya, memikirkan saudara dekat, ketika sedang asyik
bercakap-cakap Wrekudara datang, terburu-buru masuk ke istana.
Kagyat
obah kang samya alinggih, Prabu Duryudana lon ngandika, yayi den
kapareng kene, Dyan Wrekudara njujug Dhang Hyang Druna sigra ngabekti,
rinangkul jangganira, babo suteng ulun, sira sida ngulatana, tirta ening
dadi sucining ngaurip, yen iku ketemua.
Artinya :
Terkejutlah
semua yang hadir, Prabu Dryudana berkata pelan, adikku marilah kesini,
Raden Wrekudara langsung menghadap Dhang Hyang Druna segera meyembah,
dirangkul/dipeluk lehernya, wahai anakku, kau jadi pergi mencari, air
jernik untuk menyucikan diri, jika itu telah kau temukan.
Tirta
nirmala wisesaning urip, wus kawengku aji kang sampurna, pinunjul ing
jagad kabeh, kauban bapa biyung, mulya saking sira nak mami, leluwihing
triloka, langgeng ananipun, Arya Sena matur nembah, inggih pundi prenahe
kang toya ening, ulun mugi tedahana.
Artinya :
Air
suci penghidupan, sudah berarti kau mencapai kesempurnaan, menonjol di
antara sesama makhluk, dilindungi ayah ibu, mulia darimu anakku, berada
dalam triloka, adanya kekal, Arya Sena berkata sembah, ya dimanakah
tempatnya sang air jernih, mohon aku ditunjukkan.
Sayektine
yen ulun lampahi, Resi Druna alon wuwusira, adhuh suteng ulun angger,
tirta suci nggenipun, pan ing wana Tibrasareki, turuten tuduhingwang,
banget parikudu, nucekaken ing badanira, ulatana soring Gadawedaneki,
ing wukir Candradimuka.
Artinya :
Sungguh
akan kutunjukkan, Resi Druna lirih kata-katanya, aduh anakku tercinta,
air suci letaknya, berada di hutan Tibrasara, ikutilah petunjukku, harus
diperhatikan, itu akan menyucikan dirimu, carilah di bawah Gandawedana,
di gunung Candramuka.
Drungkarana
ing wukir-wukir, jroning guwa ing kono nggonira, tirta nirmala yektine,
ing nguni-uni durung, ana kang wruh ngone toya di, Arya Bima trustheng
tyas, pamit awot santun, mring Druna myang Suyudana, Prabu ing Ngastina,
angandika aris, Yayi Mas den prayitna.
Artinya :
Carilah
di gunung-gunung, di dalam gua gua di situlah letaknya, air suci yang
sesungguhnya, di masa lalu belum ada yang tahu tempatnya, Arya Bima
gembira hatinya, mohon diri sambil meyembah, kepada Druna dan Suyudana,
Prabu di Ngastina, berkata pelan, berhati-hatilah adikku.
Bok
kasasar nggonira ngulati, saking ewuhe panggonanira, Arya Sena lon
wuwuse, nora pepeka ingsun, anglakoni tuduh sang Yogi, Bima gya pamit
medal, lajeng lampahipun, kang maksih aneng jro pura, samya mesem nateng
Mandraka nglingnya ris, kaya paran solahnya.
Artinya :
Jangan
sampai tersesat dalam usaha mencari, oleh sulitnya letak air suci itu,
Arya Sena menjawab pelan, aku tidak akan mengalami kesulitan, dalam
menjalankan petunjuk sang guru. Bima segera mohon diri keluar,
melanjutkan perjalanan, yang masih tinggal di dalam istana, semua
terseyum, Raja Mandaraka berkata lirih, bagaimana caranya ia memperoleh
air itu.
Gunung
Candradimuka guwaneki, dene kanggonan reksasa krura, kagir-giri
gedhene, pasthi yen lebur tempur, ditya kalih pangawak wukir, tan ana
wani ngambah, sadaya gumuyu, ngrasantuk upayanira, sukan-sukan boga
andrawina menuhi, kuneng wau kocapa.
Artinya :
Gunung
Candramuka dan guanya, di situ tinggal raksasa yang sangat menakutkan
sangat besar, tentu akan hancur lebur, dua raksasa serupa gunung, tak
ada yang berani melawan, semuanya tertawa, merasa berhasil tipu
muslihatnya, bersuka ria pesta makan-minum sepuas-puanya, berganti yang
dikisahkan.
———- Di Gunung Candramuka ———-
Arya
Sena lajeng lampahneki, prapteng wana langkung sukaning tyas, tirta
ning pangupayane, saking tuduhing guru, tan anyipta upaya sandi, bebaya
geng den ambah, tyasira mung ketung, kacaryan dennya ngupaya, kang tirta
ning aneng Candradimuka wukir, marga sengkeng den ambah.
Artinya :
Arya
Sena terus berjalan, sampai dihutan hatinya sangat gembira, air jernih
yang dicari, dari petunjuk gurunya, tak mengira bahwa itu semua
muslihat, bahaya besar ditempuhnya, hatinya hanya memperhitungkan,
dengan gembira ia mencari, si air jernih di gunung Candramuka, jalan
sulit ditempuhnya.
Jurang
pereng runggut kang mandri, sato wana bubar kang katrajang, andanu
sungsam lan banteng, amung wanara lutung, neng pang wreksa sangsaya
mencit, lampahe Wrekudara, mawa braja lesus, kathah pang wreksa
kapapral, para wiku lan ajar manguyu cantrik, kang tapa neng pratapan.
Artinya :
Jurang
curam dan lebatnya hutan, satwa bercerai berai diterjangnya, kerbau
kijang dan banteng, hanya kera dipucuk pohon yang semakin memanjat
tinggi, perjalanan Wrekudara, bersama petir dan badai, banyak cabang
pohon yang patah, para pendeta dan murid-muridnya yang sedang bertapa di
pertapaan.
Tilar
dhepok pra samya angungsi, saking giris myat bjra ruhara, cipta yen
gara-garane, Sang Hyang Bayu tumurun, wau Sena lapahireki, pratapan kang
kamargan, sri panjrah maweh rum, abra kang ptra mbalasah, kang cepaka
angsana lan gandasuli, argulo nagapuspa.
Artinya ;
Meninggalkan
tempat tinggalnya untuk mengungsi, karena takut kepada petir dan
keributan, mengira bahwa menimbulkan gara-gara adalah Sang Hyang Bayu
yang turun dari kahyangan, perjalanan Sena tersebut, melewati pertapaan
membawa bau harum dimana-mana, bersinarlah daun-daun yang berserakan,
bunga cempaka, angsana dan gandasuli, argula dan nagapuspa.
Kathah
mekar myang gambir malati, patraping wiku kang tinilar, tumiling tiling
istane, nambrana kang lelaku, bramara reh manguswa sami, anglir
karunanira, sih margeng malat kung, ingkang lelampah ngupaya, kang toya
ning nuju surya nengahi, gumyus riwe Sang Bima.
Artinya :
Banyak
yang mekar dan gambir melati, pertapaan yang ditinggalkan, serupa
kelihatan condong, menyambut yang sedang melakukan perjalanan,
kumbang-kumbang yang hidup, bagaikan bersedih hatinya, memberi jalan
sehingga menyebabkan suasana duka, orang yang sedang melakukan
perjalanan mencari, si air jernih ketika sang surya sedang di puncak
ubun-ubun, keringatnya berlelehan.
Sangsaya
dres bayu braja tarik, Sena Saya sengkut lampahira, surem baskara
sunare, saking dres bajra bayu, saking genge garanireki, wreksa sol
kaparapal, brungkat, samya rubuh, ajar-ajar kapalajar, kuteteran wiku
resi kang udani, methuk atur sesegah.
Artinya :
Semakin
kencang sang bayu dan petir mendorongnya, Sena semakin cepat melangkah,
matahari bersinar suram, oleh deras arus angin dan petir, oleh besarnya
dorongan, pohon-pohon tumbang dan patah bersama akarnya, murid-murid
padepokan berlarian, bingunglah para pendeta yang melihat, menyambut
dengan memberi sajian secukupnya.
Nanging
aturira tan tinolih, Arya Sena pan lajeng kewala, pan maksih njujur
lampahe, samana prapta sampun, Candramuka guwaning wukir, sela-sela
binubak, binuwangan gupuh, sanget denira ngupaya, tirta maya ingubres
datan kapanggih, arya Sena sangsaya.
Artinya :
Tetapi
kata-katanya tidak diperhatikan, Arya Sena terus berjalan, dengan
berjalan lurus, setelah sampai di gua gunung Candramuka, bebatuan
disingkirkan, dengan sungguh-sungguh ia mencari, air maya dicari tidak
ada, Arya Sena semakin.
Apan
sanget denira ngulati, tirta maya kang guwa binubrah padhang tan ana
tandhane, tirta maya nggenipun, jroning guwa den osak-asik, saya lajeng
manengah, Sena lampahipun, denira ngulati toya, kang tirta ning kuning
kang lagya ngulati, wau wonten winarna.
Artinya :
Bersungguh-sungguh
dalam mencari, air maya dalam gua yang sudah dirusak sehingga tampak
terang benderang tanpa tanda-tanda, tempat air maya, dalam gua
diobrak-abrik, semakin menuju ke tengah, Sena berjalan, dalam usaha
mencari air, sang air jernih, lain yang diceritakan orang yang sedang
mencari itu, ada yang akan diceritakan lagi.
———- Rukmuka dan Rukmakala ———-
Ingkang
aneng jroning guwa nenggih, ditya Rukmuka lan Rukmakala, kagyat miyarsa
swarane, gugragira kang gunung, pambubrahing guwa kang jawi, gora reh
bayu bajra, lawan ngugas mambu, gandane janma manusa, wil Rukmuka kroda
kadgadeng ajurit, lan ditya Rukmakala.
Artinya :
Yang
sedang di dalam gua, raksasa Rukmuka dan Rukmakala, terkejut mendengar
suara, kegoncangan gunung, rusaknya gua di bagian luar, riuh terdengar
angin dan petir, jelas ada bau sesuatu, bau manusia, raksasa itu
bergerak siap bertempur, raksasa Rukmakala.
Krura
angrik nggero nggegirisi, ditya kalih sareng dennya medal, ngegilani
ing tandange, lir Hyang Kala tumurun, duk krodarsa ambedhol bumi,
nandher nubruk solahnya, prapteng njawi ndulu, manusa sawiji ingkang,
mbubrah guwa bramantyanira tan sipi, wong ngendi iki baya.
Artinya :
Berteriak
dan mengeram menakutkan, kedua raksasa ketika keluar, gerak-geriknya
menakutkan, bagaikan san Hyang Kala yang turun dari langit, ketika marah
akan mencabut bumi, menyebar dan menerkam geraknya, sesampai di luar
melihat, manusia seorang yang, merusak gua kemarahannya meledak-ledak,
orang dari manakah gerangan.
Pan
angrusak ing panggonan mami, tan wurung sun tadhah tara masa, ditya
kekalih nulyage denira nandher nubruk, Arya Sena kagyat ningali, ditya
kalih praptanya, asru dennya muwus heh ditya nedya sikara, praptaningsun
nut tuduhe guru mami, ngupaya tirta wuntat.
Artinya :
Yeng
dengan berani merusak tempat tinggalku, tak pelak ia akan menjadi
santapanku, kedua raksasa segera menyambar dan menerkam, Arya Sena
terkejut melihatnya, akan kedua raksasa yang baru tiba itu, dengan keras
ia berkata, wahai raksasa yang akan menganggu, kedatanganku mengikuti
petunjuk guruku, mencari air suci.
Kidung Pangkur
Praptamu
nedya sikara, nora wurung karasa ngasta mami, ditya kekalih gya naut,
Rukmuka Rukmakala, pan sarya nggro Dyan Wrekudara tinubruk, kinerah gulu
iringnya, ginilut ing kanan kering.
Artinya :
Kedatanganmu
akan mengganggu, tak pelak tentu akan menerima tamparanku, kedua
raksasa segera menyahut, Rukmuka dan Rukmakala, sambil menggeram mereka
menerkam Wrekudara, mengigit leher samping, dikeroyok kanan kiri.
Panggeh
Raden Wrekudara, jangganira kinerah datan gingsir, kinemah
ginilut-gilut, jangganira tan pasah, Wrekudara tan tahan denira mambu,
wil amis bacin gandanya, krodha kadgadeng ajurit.
Artinya :
Raden
Wrekudara tetap tangguh, lehernya digigit tidak apa-apa, dikunyah
digulat tidak mempan, Wrekudara tidak tahan memcium bau, raksasa yang
anyir dan bacin, murka dengan terampil bertempur.
Dinuwa
ditya kalihnya, gya cinandhak astane kanan kering, binanting sela
maledhug, sumyur bangke kailhnya, wil Rukmuka lan Rukmakala wus lampus,
ruwat ing cintrakanira, wil iku jawata kalih.
Artinya :
Ditendang
kedua raksasa itu, segera ditangkap dengan kedua tangan, dibanting ke
atas batu dan meledak, hancurlah bangkai kedua raksasa, raksasa Rulmuka
dan Rukmakala telah tewas, terlepaslah penderitaannya, raksasa itu
sebenarnay adalah dua dewa.
Kena
ing papa cintraka, Endra Bayu dinukan Hyang Pramesthi, dadya ditya
kalihipun, neng guwa Candramuka, Arya Sena sasirnane mengsahipun, sigra
guwa binalengkrah, toya tan ana kaeksi.
Artinya :
Terkena
kutukan, Endra dan Bayu dimarahi Hyang Pramesthi, menjadi raksasa
keduanya, tinggal di gua Candramuka, setelah kedua musuhnya sirna,
segera gua itu dirusaknya, namun air tidak juga ditemukan.
Sadangunira
ngupaya, jroning guwa bubrah den obrak-abrik, sayah kesaput ing dalu,
ngadeg soring mandhira, giyuh ing tyas denira ngupaya banyu, tan antara
Arya Sena, miyarsa swara dumeling.
Artinya :
Selama
mencari, dalam gua rusak berat diobrak-abrik, leleh menyambut malam,
berdiri dibawah pohon beringin, bersedih hatinya mencari sang air, tak
berapa lama Arya Sena, mendengar suara yang bergema.
———- Hyang Endra dan Hyang Bayu ———-
Tan
katon kang duwe swara, babo putuningsun liwat kaswasih, ngupaya nora
ketemu, tan antuk tuduh nyata, ing prenahe kang sira ulati iku,
kasangsara solahira, Wrekudara duk miyarsi.
Artinya ;
Tak
tampak yang bersuara, wahai cucuku yang sangat bersedih, mencari tidak
menjumpai, tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda
yang kaucari itu, sungguh menderita dirimu, Wrekudara ketika
mendengarnya.
Nauri
sinten kang swara, dene boten katinggal marang mami, punapa yun ngambil
tuwuh, atur kula sumangga, suka pejah tan antuk ngulati banyu, kang
swara gumujeng suka, yen sira tambuh ing kami.
Artinya :
Menjawab
siapa yang bersuara itu, karena tidak kelihatan olehku, apakah ingin
membunuhku, mari kupersilahkan, lebih baik mati daripada tidak tidak
mendapatkan air yang kucari, suara itu tertawa senang, bila kau
pura-pura tidak tahu kepadaku.
Sira
duk mateni buta, iya ingsun padha jawata kalih, keneng cintraka Hyang
Guru, temah sira kang ngruwat, ingsun Sang Hyang Endra lan Bathara Bayu,
duk ditya Si Rukmakala, lawan Rukmuka ran mami.
Artinya :
Kau
ketika membunuh raksasa, ya kami inilah dua dewa, yang terkena marah
Hyang Guru, akhirnya kau yang melepaskan kesusahanku, kami Sang Hyang
Endra dan Bathara Bayu, san Rukmakala dan Rukmaka nama kami.
Sira
angulati toya, pituduhe Druna marang sireki, nyata yen ana satuhu, kang
Maosadi tirta, nanging dudu ing kene panggonanipun, sira balia astana,
enggone ingkang sayekti.
Artinya :
Kau
mencari air, petunjuk Druna kepadamu itu, nyata memang benar-benar ada,
sang air penghidupan, tetapi bukan disini tempatnya, kau kembalilah ke
Astina, yang merupakan tempatnya yang nyata.
———- Di Nagara Ngastina ———-
Wrekudara
duk miyarsa, kendel saking wagugen tyasireki, tan antara gya sumebrung,
mantuk marang Ngastina, tan winarna ing marga praja wus rawuh, pendhak
ing dina samana, nuju Prabu Kurupati.
Artinya :
Wrekudra
kektika mendengar, berhenti dari kebingungan hatinya, tak lama ia
segera pergi, pulang ke negeri Ngastina, tak diceritakan keaadaannya
dalam perjalanan, sudah sampai di istana, pada waktu itu, Sang Prabu
Kurupati.
Pepakan
lunggyeng pandapa, Resi Druna Bisma lawan Sang Aji, Mandraka Sri Salya
Prabu, Sangkuni Kyana Patya, pepak sagung Kurawa sumiweng ngayun,
Sindukala lan Sudarma, Suranggakala lan malih.
Artinya :
Lengkap
duduk diserambi muka, Resi Drna Bisma dan sang Raja, Raja Mandaraka
Prabu Salya, Patih Arya Sangkuni, lengkap bala Kurawa menghadap dimuka
sang raja, Sindukala dan ayahanda, Suranggakala dan lainnya.
Kuwirya
Rikadurjaya, lawan Jayasusena munggeng ngarsi, kagyat wau praptanipun,
Dyan Arya Wrekudara, samya mbagekaken mring kang lagya rawuh, babo
ariningsun Sena, antuk karya sun watawis.
Artinya :
Kuwirya
Rikadurjaya, dan Jayasusena duduk di depan, terkejut melihat
kedatangan, Raden Wrekudara, mereka mempersilakan orang yang baru datang
itu, wahai adikku Sena, berhasilkah kau menunaikan tugasmu.
Yayi
sun ngempek kewala, praptanira sayekti antuk kardi, Resi Druna lon
sumambung, paran ta lakunira, Wrekudara umatur datan kapangguh, nggoning
wukir Candramuka, mung ditya kalih kapanggih.
Artinya :
Adikku
aku hanya ingin bertanya, kedatanganmu tentu membawa hasil, Resi Druna
menyambung lirih, bagaimana hasilmu, Wrekudara menjawab bahwa tidak
berhasil, di gunung Candramuka, hanya dua raksasa yang ditemuinya.
Rukmuka
lan Rukmakala, sampun sirna kalih kawula banting dening ditya mamrih
lampus, sikara mring kawula, jroning guwa ngong balingkrah tak
kapangguh, paduka tuduh kang nyata, sampun amindho gaweni.
Artinya :
Rukmuka
dan Rukmakala, telah kubanting agar lekas berhenti menggangguku, di
dalam gua semua kacau balau tetap tidak kutemukan, paduka harus memberi
petunjuk yang jelas, sehingga tidak perlu mengulang seperti ini.
Dhang
Hyang Druna ngrangkul sigra, babo sira kang lagi sun ayoni, temen nut
tuduhing guru, mengko wus kalampahan, nora mengeng ngantepi
pituduhingsun, ing mengko sun warah sira, enggone ingkang sayekti.
Artinya :
Dhang
Hyang Druna segera memeluk, wahai kau yang sedang kuuji, sungguh mau
mengikuti petunjuk gurumu, kkini telah terbukti, tidak menolak dalam
melaksanakan perintahku, sekarang kuberi petunjuk, tentang letak yang
sebenarnya.
Iya
ing theleng samodra, yen sirestu nggeguru marang mami, manjinga mring
samodra gung, Arya Sena turira, sampun menggah manjing theleng samodra
gung, wontena nginggiling swarga, myang dasar kasapti bumi.
Artinya :
Yaitu
di tengah samudera, jika sungguh kau akan berguru kepadaku, masuklah ke
dalam samudra luas itu, Arya sena menjawab, jangankan masuk ke dalam
lautan, di puncak surga pun, dan di dasar bumi ketujuh.
Masa
ajriha palastra, tuduh paduka yekti, Druna mojar iya kulup, yen iku
ketemua, bapa kakinira kang wus padha lampus, besuk uripe neng sira, lan
sira punjul ing bumi.
Artinya :
Tak
mungkin takut, melaksanakan petunjuk paduka yang benar, Druna berkata
ya anakku, jika itu kau temuka, orang tua dan kakekmu yang sudah mati,
kelak hidupnya ada padamu, dan kau akan menonjol di dunia ini.
Tan
ana aji tumama, sirna kasor kawengku ing sireku, Sri Duryudana
sumambung, dhuh Sena ariningwang, kaya paran praptikelira dalanggung,
dene laku luwih gawat, prenahe kang tirta ening.
Artinya :
Tak
ada senjata yang mampu melukai, lebur dan kalah olehmu, Sri Duryudana
menyambung, wahai Sena adikki, bagaimana caramu menempuh perjalanan,
karena perjalan itu lebih gawat, tentang letak air jernih itu.
Aja
sira kaya bocah, den prayeitna Wrekudara nauri, Heh Kuru pati wak
ingsun, srahene ing Jawata, aywa malang tumulih lilakna tuhu, aja
nggarantes tyasira, paribara sun basuki.
Artinya :
Janganlah
kau seperti anak kecil, berhati-hatilah, Wrekudara menjawab, hai
Kurupati diriku ini kuserahkan kepada dewata, janganlah kau ragukan,
relakan daku, jangan sedih hatimu, tentu aku akan selamat sampai tujuan.
Ya
yayi muga antuka, lakunira pitulunging dewa Di, Arya Sena pamit sampun,
mring Druna lang Sang Nata, ing Ngastina wusnya pamit gya sumebut,
medal sapraptaning jaba, nedya umantuk rumiyin.
Artinya :
Ya
adikku semoga berhasil, langkah-langkahmu mendapat restu dari dewa yang
agung, Arya Sena mohon diri, kepada Druna dan sang raja, di Ngastina
esudah itu ia segera pergi, keluar dari istana, untuk pulang lebih
dahulu.
Matur
ingkang raka Ngamarta, kuneng Wrekudara lampahe prapti, ya ta wau kang
winuwus, nenggih nagri Ngamarta, saankate Wrekudara kesahipun, dene tan
kena ingampah, marmanya dhahat prihatin.
Artinya :
Lapor
kepada Raja Ngamarta, ganti yang dikisahkan, Wrekudara sudah sampai,
itulah yang dikisahkan, tentang negeri Ngamarta, sepeninggal Wrekudara,
yang tidak dapat dicegah sehingga menimbulkan kesedihan mendalam.
Sira
Prabu Darmaputra, miwah Dananjaya lan ari kalih saputra sagarwanipun,
prihatin tyas sumelang, dadya rembag atur uninga puniku, saking
sungkawaning driya, marang Prabu Harimurti.
Artinya :
Prabu
Darmaputra, dan Sang Dananjaya dengan adiknya berdua beserta anak
istrinya, prihatin hatinya khawatir, menjadikan pembicaraan yang
menjelaskan hal itu, oleh kesedihan hatinya, kepada sang Prabu
Harimurti.
Mesat
caraka Ngamarta, mawi serat ing marga tan winarni, prateng Dwarawati
sampun, serat katur sang nata, wus binuka sinuksmeng sajroning kalbu,
kagyat nggarijiteng wardaya, sira Prabu Harimurti.
Artinya :
Pergilah
seorang utusan Ngamarta, membawa surat dalam perjalanan tidak
dikisahkan, sudah sampai di Dwarawati, surat itu disampaikan kepada sang
raja, sudah dibuka dan diresapkan kedalam hati, sangat terkejut hati
sang raja Prabu Harimurti.
Dhahat
tan sakeca ing tyas, gya ngundangi budhal wadya sang aji, wadya lampahe
kasusu, ing marga tan winarna, lampahira Sri Kresna Ngamarta rawuh,
katur Prabu Yudhistira, gya methuk lawan parari.
Artinya :
Sangatlah
tidak enak hatinya, segera memerintahkan untuk pergi ke Ngamarta
beserta bala pasukan, pasukan itu berangkat tergesa-gesa, di dalam
perjalanan tidak dikisahkan, sang Harimurti sudah sampai di Ngamarta,
menghadap sang Ydhistira, lekas menyambut bersama adik-adiknya.
Prapteng
pura tata lenggah, Dananjaya lan kang rayi ngabekti, Prabu Darmaputra
Yudhistira matur, Sena sesolahira, purwa madya wasana pan sampun katur,
miyarsa ngungun ing driya, sira Prabu Harimurti.
Artinya :
Masuk
istana dipersilahkan duduk, Dananjaya dan adiknya menghaturkan sembah,
Prabu Darmaputra Yudhistira berkata, tentang Sena dan tingkahnya, sejak
awal tengah dan akhir semua disampaikan, yang mendengarkannya heran
dalam hati, yaitu sang Prabu Harimurti.
Wasana
andikanira, yayi Prabu sampun sungkaweng galih, solahe arineriku,
Wrekudara denira, ngruruh tirta ening sayekti ingapus, tingkahe Kurawa
cidra, pasrahna Jawata Di.
Artinya :
Kemudian
katanya, Dinda Prabu janganlah bersedih hati, tingkah adik kita,
Wrekudara dalam usahanya mencari air suci jernih sesungguhnya ditipu,
oleh para Kurawa yang curang, serahkanlah saja kepada dewata yang agung.
Wong
nedya puruhita, ujar becik upama den lampahi, santosa ing bathara gung,
ingkang nedya bencana, boten wande manggih wewales ing pungkur, matur
Prabu Yudhistira, mila kula Jeng Kaka Ji.
Artinya :
Orang
yang ingin mengabdi, kata-kata yang baik itu harus dijalankan, yakin
kepada dewata yang agung, yang akan menjatuhkan bencana, kelak tentu
akan mendapatkan balasan, berkata prabu Yudhistira, maka saya ini
kakanda.
Nunten
ngaturi uninga, mring paduka pun Sena lampahneki, yen tan nunten
praptanipun, kula lan rayi tuwan, Madukara ngulati ing purugipun, tan
liyan mung nyuwun pitedah, paduka den lampahi.
Artinya :
Kemudian
segera memberi kabar, kepada paduka tentang tingkah Sena itu, jika
tidak lekas datang, saya dan adik yang lain dari Madukara akan mencari
ke mana perginya, tak lain hanya minta petunjuk paduka untuk kami
laksanakan.
Lagyega
imbal wacana, pan kasaru Sena praptanireki, prabu kalih sigra
ngrangkul, langkung trusthaning driya, Dananjaya lan Nangkula Sadewaku,
Dyan Pancawala Sumbadra, aretna Drupadi Srikandi.
Artinya :
Ketika
sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan
Sena, dua raja itu segera memeluk Sena, hati mereka sangat gembira,
Dananjaya dan Nakula Sadewa, Raden Pancawala dan Sembadra, Retna Drupadi
dengan Srkandi.
Putra
ri ngabekti samya, angandika sang prabu Harimurti, inggih ndaweg yayi
prabu, sami suka bujana, sigra Arya Wrekudara aturipun ywa susah nganggo
bujana, pan ingsun nora ngenteni.
Artinya :
Putra
dan adik-adik mengabdi mengahturkan sembah semuanya, berkata sang prabu
Harimurti, mari kita berpesta dan bersenang-senang, segera Arya
Wrekudara menjawab, tak usah berpesta pora, aku tidak akan
menantikannya.
Marang
wong suka bujana, praptaningsun mung nedya tur udani, yen wis pamit
bali ingsun, miwah mring sira Kresna, pan kapareng prapta manira angung
wruh, arsa mring theleng samodra, ngupaya sinom tirta di.
Artinya :
Kepada
orang yang suka berpesta, kedatanganku hanya ingin memberi kabar, nahwa
aku sudah mohon diri kepada kalian, dan kepadamu Kresna, kedanganku
hanya ingin memberi tahu, aku akan ke tengah samudera, mencari air suci.
Kidung Sinom
Pituduhe
Dhang Hyang Druna, angulati Banyu Urip, nggone neng theleng samodra,
iku arsa sun ulati, matur kang para ari dhuh kakangmas sampun-sampun,
punika dede lampah, tan pantes dipun lampahi, duk miyarsa njethung Prabu
Ydhistira.
Artinya :
Petunjuk
Dhang Hyang Druna, mencari air penghidupan, tempatnya di pusat
samudera, itu akan kucari, berkatalah adik-adik Sena, duh kakanda jangan
lakukan, itu bukan tugas, tidak patut dilaksanakan, mendengar itu
diamlah Prabu Yudhistira.
Wusana
alon turira, mring raka Sri Harimurti, paran ing karsa paduka, pun Sena
aturireki, tan kenging den palangi, Sri Kresna kendel tan muwus,
langkung pangungunira, bunek ing tyas tan nauri, ing ature kang rayi Sri
Yudhistira.
Artinya :
Kemudian
katanya pelan, kepada kakanda Sri Harimurti, bagaimana kehendak paduka,
demikian kehendak Sena, tidak dapat dihalang-halangi, Sri Kresna diam
tak dapat berkata-kata, sangat heran dia, bingung dalam hatinya tak
dapat menjawab pertanyaan sang Yudhistira.
Sigra
Prabu Ydhistira Darmaputra, tumengkul marang kang rayi, Parta Nangkula
Sadewa nungkemi pada anangis, Dyan Pancawala tuwin, Sumbadra Srikandi
muwun, samya nggubel aturnya, miwah Prabu Harimurti, andrewili pitutur
mring Arya Sena.
Artinya :
Segera
Sang Prabu Yudhistira, menoleh kepda adinda, Parta Nakula dan Sdewa
menyembah dan mencium kaki sambil menangis, Raden Pancawala dan,
Sumbadra Srikandi menangis pula, semua meminta dengan paksa, dan Prabu
Harimurti masih memberikan nasihat kepada Arya Sena.
Sena
tan kena ingampah, tan keguh ginubel tangis, Dananjaya nyepeng asta,
ari kalih suku kalih, [an sarwi lara nangis, Sri Kresna tansah pitutur,
Srikandi lan Sumbadra, kang samya nggubel nangisi, kinipatken sadaya
sami kaplesat.
Artinya :
Sena
tidak dapat ditahan-tahan lagi, tak goyah dikungkung oleh tangis,
Dananjaya memegangi tangan, dua adik lain memegangi kedua kakinya, dan
sambil menangis mengiba-iba, Sri Kresna selalu menasihati, Srikandi dan
sumbadra, yang masih tetap menangis dan menghalang-halangi, dikibaskan
semua terlempar.
Meksa
mberot Wrekudara, datan kena den gujengi, ngitar lampahe wus tebah,
kadya tinilar ngemasi, Parta lan ari kalih, arsa sumusul tutu pungkur,
ajrih pangampihira, kang raka Sri Harimurti, dadya kendel sadaya
wayang-wuyungan.
Artinya :
Wrekudara
tak dapat dipegangi, cepat langkahnya sudah jauh, yang tinggal bersedih
bagaikan mati, Parta dan kedua adiknya, akan menyusul mengikuti di
belakangnya, takut menemui rintangan atas kaknya, Sri Harimurti, menjadi
terdiam semua kebingungan.
Saenggon-enggon
karuna, sagung santana jalwestri, satriya ngadhep neng ngarsa, sira
prabu Harimurti, tan pegat mituturi, kang rayi pra samya ndheku, dadya
Sri Padmanaba, makuwon aneng jro puri, kawuwusa wau kang adreng ing
lampah.
Artinya :
Di
setiap tempat terdengar tangisan, semua sentana lelaki perempuan,
satria menghadap di muka, Sang Prabu Harimurti, tak henti-hentinya
menasihati, adik-adik semua terdiam dan khidmad, jadilah sang Padmanaba,
tinggal di dalam istana, dikisahkanlah yang sedang dalam perjalanan.
———- Keindahan Pemandangan Yang Terlihat ———-
Lajeng
dhedher Arya Sena, wus tebih manjing wanadri, tan kestri durgameng
hawan, tan ana bebaya kesthi, sagung wong tepis iring, pra samya gawok
angrungu, lampahe Arya Bima, lir naga krura ngajrihi, anrang baya amrih
tuduhing ngagesang.
Artinya :
Semakin
jauh perjalanan Arya Sena, sudah masuk kedalam hutan, tak terpikir
bahaya diperjalanan, tak ada bahaya dilihatnya, orang-orang yang
ditinggal di perbatasan, semua heran mendengarnya, perjalanan Arya Sena,
bagaikan naga yang sangat menakutkan, menyerang bahaya agar tercapai
tujuan hidupnya.
Kakayon
katut maruta, pang kaprapal ngangin-angin, lir ngatag kang sekar mekar,
samirana awor riris awor riris, panjrahing sarwa sari, kang riris pan
marbuk arum, kumuning jangga sumyar, angsana pudhak kasilir, kinon katon
lir wentis kasisan sinjang.
Artinya :
Pepohonan
terhanyut oleh angin, cabang patah oleh angin, bagaikan memaksa
bunga-bunga untuk mekar, angin bertiup tersebar berbunga, gerimis dengan
semerbak harum, tampak kuning dengan leher yang bersinar, bunga pudak
bergoyang-goyong, tampak bagaikan betis tertiup kain kebaya.
Seje
tibra ganing driya, sahira saking nagari, cunggeren ret mawurahan, lir
napa marang sang Branti, merak munya neng wuri, barung lawan peksi
cucur, lir ngaturi wangsula, kidang wangsul saking ngarsi, kadya srune
napa sangsayeng wardaya.
Artinya :
Lain
kesedihan yang dirasakan, kepergian dari negerinya, babi hutan gelisah,
bagaikan bertanya kepada Arya Sena, merak bersuara dibelakangnya,
bersahutan dengan burung cucur, seolah-olah mengajak pulang, kijang
pulang dari hadapannya, bagaikan memendam kesedian yang dalam.
Resres
munya asauran, yayah kadya anauri, bebeluk myang dares munya,
anamber-namber wiyati, kadya ngadhangi margi, wangsula ri sang Malat
Kung, kungkang neng rong kalintang, amarah upaya sandi, yen dursila
tanduking karti sampeka.
Artinya :
Capung
bersuara bersahut-sahutan, seolah-olah seperti menjawab, burung hantu
dan burung dares bersuara, menyambar-nyambar di udara, bagaikan
mengahalangi jalan, kembalilah Sang Malat Kung, kodok di dalam liangnya,
memohon dengan sangat bahwa itu hanya kecurangan, merupakan ulah
orang-orang yang berbuat jahat.
Diwasaning
diwangkara, titi sunya tengah wengi, gedasih munya sauran, musthikeng
ganeya muni, mangun anggeng saliring, kadya sung warah mring lampus,
upaya Dhang Hyang Druna, tan tuhu amrih basuki, mawa kamandaka
durgamaning hawan.
Artinya :
Pada
waktu itu sang matahari, tidak muncul karena tengah malam, burung
kedasih bersuara bersahutan, mustika ganeya pun bernyanyi, menciptakan
dengung di sekitarnya, seolah-olah menyarankan akan mati, perintah Dhang
Hyang Druna, tidak menuju keselamatan, dengan kata-kata yang penuh
bahaya dalam perjalanan.
Suwenda
sekaring asta, ri ana Sang Hyang Bayeki, anut ujunging aldaka, denira
lumampah aris, purwa ima rekteki, sirat-sirat wus kadulu, wismane Sang
Haruna, manitih ing jalanidhi, keksi praba Sang Maharsi Dipaningrat.
Artinya :
Kuku
hiasan jari-jarinya, yang diperoleh dari Hyang Bayu, menurut ujung
gunung, langkahnya pelan-pelan, dikawal awan putih, dari jauh kelihatan,
tempat tinggal sang Dewa Haruna (Dewa Matahari), berjalan di atas air
laut, tampak sorot Sang Maharesi Dipaningrat.
Ana
ri kang pasi wijah, anyengak-nyengak sru muni, sasmita kinen wangsula,
mring sang kasangsayeng ragi, sata wana munyajrit, wewarah mring Sang
Moneng Kung, angambah wanapringga, kungas tepining udadi, alun adres
gumulung menempuh parang.
Artinya :
Ada
seekar burung yang tampak, bersuara keras dan bernyanyi-nyanyi, memberi
isyarat supaya lekas kembali, kepada yang menderita dalam perjalanan,
hewan-hewan hutan menjerit-jerit, memberi isyarat kepada yang sedang
berduka, melewati hutan lebat berbahaya, tampak tepi laut, ombak
bergulung-gulung menerpa karang.
Sumyak
lir suraking aprang, mrepek sangsaya kaeksi, karang munggul kawistara,
dan awun-awun nawengi, ana kang kadi esthi, karang mengo liman ajrum,
Wrekudara wus prapta, ngadeg neng tepining tasik, mangu-mangu mulat
tepining udaya.
Artinya :
Riuh
bagaikan sorak-sorai peperangan semakin dekat semakin tampak, karang
menyembul, dan ombak-ombak itu melindungi, ada yang bagaikan gajah, yang
menoleh dan emndekam, Wrekudara sudah sampai, berdiri di tepi laut,
ragu-ragu menatap tepi laut itu.
Kang ombak ngembang galagah, panduking parang mangsuli, lir nambrama ingkang prapta, ngaturi wangsulireki, palimarma mring kang kang Prapti, yen ingapus lampahe manjing samodro.
Artinya :
Sang
ombak bagaikan bunga gelagah, menggempur batu karang, bagaikan
menyambut yang baru datang, menyarankan untuk kembali saja, topan datang
juga, suaranya riuh menggelegar, ombak bergulung-gulung, tampak kasihan
kepada yang baru datang, bahwa ia ditipu agar masuk ke dalam samudera.
Druna
ujar ngamandaka, tuduhira tan sayekti tan sayekti, Sena yen wangsula
merang ing guru Sang Maha Resi, suka matiyeng tasik, mangkana wau
andulu, palwa awarna-warna, kumerab ing jalanidhi, ting karetap kang
layar pating samburat.
Artinya :
Druna
memberi petunjuk yang sesat, petunjuknya tidak benar, Sena tidak ingin
pulang menentang sang Maharesi, lebih baik mati di tepi laut,
demikianlah ia melihat, berbagai bentuk perahu, berbondong-bondong di
atas lautan, bercahaya dengan layar yang berkembang.
Ting
salebar lampahira, kang palwa sawiji-wiji, nanging tan ana kang misah,
dulur maksih lampah tunggil, nangkoda samya grami, samya ngetan
purugipun, dangu Sang Arya Sena, miyat kang palwa lumaris, ngunandika
paran mengko lakuningwang.
Artinya :
Menyebar
laju perjalanannya, setiap perahu satu persatu, tapi tidak ada yang
memisahkan diri, bersaudara masih menyatu, nakoda kapal semua mengangkut
dagangan, berlayar ke timur, lama Arya Sena, melihat kapal-kapal itu
lewat, berkata dalam hati bagaimana caraku nanti.
Manjing
jro theleng samodra, angupaya Banyu Urip, mangkana ingsun nora bisa,
umanjing sajroning warih, kayaa si Pamadi, bisa manjing jroning banyu,
silulup katon padhang, tan pae dharatan sami, Wrekudara dangu dennya
ngunandika.
Artinya :
Masuk
ke dasar samudera, mencari air penghidupan, padahal aku tidak mampu
masuk ke dalam air, seandainya seperti Pamadi, mampu masuk kedalam air,
menyelam tampak terang, tak berbeda dengan di atas daratan, lama
Wrekudara berkata-kata dalam hati.
Wasana
mupus ing driya, rehning atur wus nanggupi, marang Sang Pandhita Druna,
tuwin Prabu Kurupati, dennya ngupaya nenggeh, ingkang Tirta Kamandanu,
manjing theleng samodra, Sena tyasira tan gingsir, lara pati pan wus
karsaning Jawata.
Artinya :
Akhirnya
ia berpasrah diri, karena sudah menyatakan kesanggupan, kepada Sang
Pandhita Druna, dan Prabu Kurupati, dalam mencari itu, Sang Tirta
Kamandanu, masuk kedasar samudera, hati Sena tidak merasa takut, sakit
dan mati memang sudah kehendak Dewata yang agung.
Lengleng
mulat ing udaya, rencakaning tyas kalingling, nglanggut datan
pawatesan, Sang Moneng lir tugu manik, alun geng nggegirisi, langgeng
agolong gumulung, toya mundur angalang, kekisik wingkisi, wedinira lir
kekisi sekar mekar.
Artinya :
Dengan
suka cita ia memandang laut, kesedihan hatinya sudah terkikis,
menerawang tanpa batas, Sang Moneng bagaikan tugu batu, ombak besar
menakutkan, terus menerus bergulung-gulung, air mundur menhalangi,
tampak tanah pantai menyembul, ketakutannya bagaikan gulungan bunga yang
mekar.
Sangsangira
lembak-lembek, lircemara uwal saking, ukeling dyah sinjang lukar, tan
wus ucapen ing tulis, isen-isen jaladri pira-pira langenipun, raras rume
jro toya, panjang yen winarna kawi, kurang papan maksih luwih kang
carita.
Artinya :
Rambunya
mengombak-ombak, bagaikan rambut sambunganyang terlepas dari ikatannya,
tak dapat dikatan dalam tulisan, isi laut beberapa keindahan yang
tampak, keindahan dalam air itu, panjang bila diceritakan.
———- Wrekudara Mencebur ke Laut ———-
Wau
Arya Wrekudara, andangu dennya ningali, langen warnaning samodra,
sawusnya mangkana nuli, amusthi tyasireki, ing bebaya tan kaentung,
kalamun tan manggiha,ingkang Tirta Maya Ening, Tirta Kamandanu neng
theleng samodra.
Artinya :
Maka
sang Arya Wrekudara, lama menatap, keindahan isi laut, sesudah itu lalu
memusatkan perhatiannya, tidak lagi memikirkan marabahaya, jika tidak
menemukan, si air maya jernih, tirta kamandanu di dasar samudera.
Wirang
yen mantuka aran, suka matiyeng jaladri, tan liyan mung pituduhira,
mung guru ingkang kaesthi, wusnya mangkana nuli, Wrekudara sigra cancut,
gumregut tandangira, denira manjing jaladri, datan mundur pinethuk
ngalun lampahnya.
Artinya :
Malu
jika pulang tanpa hasil, lebih baik mati di laut tak lain hanya
petunjuknya, sang guru yang dipikirkan, sesudah itu lalu, Wrekudara
segara bersikap diri dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke
laut, tak akan mundur menghadapi ombak samudera.
Kidung Durma
Neng
samodra wiraganira legawa, banyu sumaput wentis, melek angganira, alun
pan sumaburat, sumembur muka nampeki, migeg ring angga, waket jangga
kang warih.
Artinya :
Dalam
samudera kegembiraannya tampak, air membasahi kaki, memyentuh tubuhnya,
ombak menggelombang, menampar wajahnya, bergerak-gerak menerpa badan,
menyentuh lehernya.
Sena
emut kang aji Jalasengara, amrih piyaking warih, wusnya matek sigra,
lampah meksa manengah, tan etang priganing warih, kuneng Sng Bima, ya ta
wonten winarni.
Artinya :
Sena
teringat ilmunya Jalasengara, agar air menyibak, setelah ilmu itu
diucapkan, terus berjalan ke tengah, tak memperhitungkan bahaya dalam
air, tentang Sang Wrekudara, lain lagi cerita di sini.
Kang
naga geng kang mangsa ylam samodra, wisanya luwih mandi, kroda dennya
miyat, sigra ngambang lumarap, gengnya saprabata siwi, galak kumelap
muka ngajrihi.
Artinya :
Ada
naga besar yang memangsa ikan di laut, berbisa sangat mematikan,
bergerak mendekati apa yang dilihatnya, segera mengambang di air, sbesar
gunung anakan, wajahnya tampak liar dan ganas, mulut menganga
menakutkan.
Lir
kinebur samodra molah prakempa, Sena kagyat ningali, ngunandikeng
driya, iki bebaya prapta naga geg krua ngajrihi, mangap kadya guwa,
siyung mingis kumilat, semembur wisa lir riris, manaut sigra, mulet
kadya ginodhi.
Artinya :
Bagaikan
dikebur keadaan air laut itu, bergoyang-goyang bagaikan gempa, Sena
terkejut melihatnya, berkata dalam hati, bahaya yang datang berupa naga
besar menakutkan, menganga bagaikan gua, taringnya tampak tajam
bercahaya, menyemburkan bisa bagaikan hujan, menerkam segera, melilit
bagaikan membalutnya.
Pan
larangkus badan pinulet ing naga, Sena angres ing galih, naga wisanira,
tumempek ngangganira, kewran wus anyipta mati, saya pinoleh, kang naga
mobat-mabit.
Artinya :
Sesudah
badannya dililit oleh tubuh ukar naga itu, Sena merasa kecut hatinya,
melekat di tubuhnya, kebingungan ia mengira akan cepat mati, semakin
meronta sang naga semakin kuat lilitannya.
Sarirane
Sena kagubet sadaya, mung janggane kang maksih, kang naga sru molah,
ningseti panggubetnya, wonten palwa dagang prapti, giris umiyat, kang
palwa nimpang lebih.
Artinya :
Tubuh
Sena dililit semua, hanya tinggal lehernya masih tampak, sang naga
semakin ganas, mengencangkan lilitannya, ada kapal dagang yang medekat,
lekas pergi menjauh, menghindari.
Lir
sinapon palwa narka angin salah, wau ta kang ginodhi, sayah Arya Bima,
krodha emut anulya, cinubles kanaka aglis, kang munggeng angga, pasah
ludira mijil.
Artinya :
Bagaikan
disapu awak perahu itu mengira ada angin salah tiup, sedangkan saja
Sena masih dililit naga, lelah tak kuasa meronta kemudian ia teringat,
segera menikamkan kukunya, tepat di tubuh naga itu, kemudian darah pun
memancar.
Kuku
Pancanaka manjing badan naga, tatas sarpa ngemasi, rah mijil marawan,
abangtoyeng samodra, sapandeleng kanan kering, toya awor rah, naga geng
wus ngemasi.
Artinya :
Kuku
Pancanaka menancap di badan naga,langsung naga itu mati, darah keluar
dengan deras, air laut memerah, tampak sepintas di kanan kiri, air
bercampur darah, naga besar sudah mati.
———- Diketahui Sang Marbudyengrat Dewa Ruci ———-
Sirna
dening Sena sadaya pan suka, saisining jaladri, wau kawuwusa, Ri sang
Murwengparasdya, wruh lakuning Kang Kaswasih, Sang Amurwengrat, praptane
Sang Amamrih.
Artinya :
Naga
Mati oleh Sena, seisi laut itu gembira, diceritakanlah, Ri Sang
Paramengparasdya, melihat perjalanan sang Kaswasih, Sang Amurwengrat,
kedatangan Sang Amamrih.
Dinuta
tan uninga jatining lampah, kang Tirta Marta Ening, apan tanpa arah,
Tirta kang wruh ing Tirta, Suksma sinuksma wawingit, tangeh manggiha,
yen tan nugraha yekti.
Artinya :
Di
utus tidak mengetahui hakekat tugasnya, Sang Air Penghidupan Jernih,
yang tanpa arah, air yang melihat air, suksma berjiwa penuh rahasia, tak
mungkin ditemukan, bila tidak mendapat anugerah yang sebenarnya.
———- Di Negara Ngamarta ———-
Kuneng
wau kocapa, Nata Pandhawa, kang samya tyas prihatin, sangsaya kagagas,
nenggih mring kadangira, arsa nusula prasami, aywa sulaya, yen nemahana
pati.
Artinya :
Syahdan
diceritakan, Raja Pandawa yang bersedih hatinya, semakin dipikirkan
perihal keadaan Saudaranya, semua ingin menyusul, jangan sampai menemui
kesulitan.
Samya
nggubel nenuwun kang pangandika, mring Prabu Harimurti, samya
tinangisan, matur narendra Kresna yayi Prabu yayi prihatin, pan kadang
tuwan, boten tumekeng pati.
Artinya :
Semua
memohon dengan penuh iba, kepada Prabu Harimurti, semua menangis,
berkatalah Sang Kresna, bahwa adinda tidak sampai meninggal dunia.
Malah
manggih kanugrahaning Jawata, benjing praptane suci, angsal sih
kamulyan, ing Hyang Suksma Kawekas, winenang alintu diri, raga Bathara
putus ing tinggal ening.
Artinya :
Bahkan
mendapat pahala dari Dewata, nanti akan datang dengan kesucian,
mendapatkan cinta kemuliaan, dari Hyang Suksma Kawekas, diizinkan
berganti diri, menjadi Batara yang berhasil menatap dengan hening.
Mila
sampun sungkaweng tyas yayi nata, enggar tyasira sami, sirna susahira,
dennya wau miyarsa, pangandika kang sayekti, Nerendra Kresna,
kamulyaning kang rayi.
Artinya :
Maka
janganlah bersdih hati, gembirakanlah hati kalian, hilangkan cemas,
setelah mendengar penjelasan demikian, dari Sang Prabu Kresna, akan
keberhasilan adindanya.
—- Sang Wrekudara Berjumpa Dengan Sang Marbudyengrat Dewa Ruci —-
Ya
ta malih wuwusen Sang Wrekudara, kang maksih neng jaladri, sampun
pinanggihan, awarni Dewa Bajang, paparan Sang Dewa Ruci, lir lare dolan,
neng udaya jaladri.
Artinya :
Kembali
dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, sudah bertemu dengan
Dewa berambut panjang, bernama Dewa Ruci, seperti anak kecil
bermain-main di atas air laut.
Angandika
Sena apa karyanira, apa sedyanireki, umanjing samodra, liwat sepi
kewala, tan ana ingkang binukti, myang sarwa boga, miwah busana sepi.
Artinya :
Berkata
Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada,
tak ada yang dimakan, tiadak ada makanan, dan tidak ada pakaian.
Amung
ana godhong aking yen ana kaleyang, tiba ing ngarsa mami, iku kang sun
pangan, yen nora natan mangan, nggarjita tyasnya miyarsi, Sang
Wrekudara, ngungun dennya ninggali.
Artinya :
Hanya
ada daun kering yang tertiup angin, jatuh di depanku, itu yang saya
makan, jika tidak ada tentu tidak makan, Sang Wrekudara, heran melihat
dan mendengarnya.
Dewa
bajang neng samodra tanpa rowang, cilik amenthik-menthik, iki ta wong
apa, mung sabayi gengira, bisa lumakyeng jaladri, ladak kumethak, tanpa
rowang pribadi.
Artinya :
Dewa
berambut panjang di laut tanpa kawan, kecil sekali, siapakah dia, hanya
sebesar bayi, dapat berjalan di atas air, sombong sekali, tanpa kawan
hanya sendirian.
Angling
malih heh ta Wrekudara sigra, prapta ing kene iki, akeb Pancabaya, yen
nora etoh pejah, sayekti tan prapta ugi, ing kene mapan, saklir sarwa
mamring.
Artinya :
Berkata
lagi wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika
tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya
serba sepi.
Nora
urub lan ciptamu paripeksa, sira tan ngeman pati, sabda kaluhuran, kene
masa anaa, Sena kewran tyasireki, sesaurira, dening tan wruh ing gati.
Artinya :
Tidak
terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang
benar, di sini tidak mungkin ditemukan, Sena bingung hatinya, jawabnya,
karena tidak tahu maksudnya.
Dadya
Wrekudara alon aturira, masa borong Sang Yogi, dewa Ruci mojar, lah iya
sira uga bebete Sang Hyang Pramenthi, Hyang Girinata, turune sira
saking.
Artinya :
Sehingga
Wrekudara menjawab pelan, terserah kepada guru, Dewa Ruci berkata, kau
pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari.
Sang
Hyang Brama uwite kang para nata, pan ramanira ugi, turun saking Brama,
mencarken para raja, ibunira Dewi Kunthi, kang duwe tedhak, iya Hyang
Wisnu Murti.
Artinya :
Sang
Hyang Brama asal para raja, ayahmu pun, keturunan dari Brama,
menyebarkan pra raja, Ibumu Dewi Kunti, yang memiliki keturunan, yaitu
Sang Hyang Wisnu Murti.
Mung
patutan telu lan bapakira, Yudistira pangarsi, panenggake sira,
panengah Dananjaya, kang loro patutan Madrim, genep Pandhawa, praptamu
kene ugi.
Artinya :
Hanya
berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua
dirimu, sebagai panengah/ketiga adalah Dananjaya, yang dua anak dari
keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu di sini pun.
Iya
Dhang Hyang Druna akon ngulatana, Toya Rip kang tirta ning, iku
gurunira, pituduh marang sira, yeku kang sira lakoni, mula wong tapa,
angel pratingkah urip.
Artinya :
Juga
atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari, Air Penghidupan berupa
air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau
laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya.
Aywa
lunga yen durung wruh kang pinaran, lan aja mangan ugi, lamun durung
wruha, rasaning kang pinangan, aja anganggo ta ugi, yen durung wruha,
arane busaneki.
Artinya :
Jangan
pergi bila belum jelas maksudnya, dan jangan makan bila belum tahu rasa
yang dimakan, janganlah berpakaian, bila belum tahu, nama pakaianmu.
Weruhira
tetaken bisane iya, lawan tetiron ugi, dadi lan tumandang, mangkono ing
ngagesang, ana jugul saking wukir, arsa tuku mas, mring kemasan den
wehi.
Artinya :
Kau
bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan
dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan
membeli emas, oleh tukang emas diberi.
Lancang
kuning den anggep kancana mulya, mangkono wong ngabekti, yen durung
waskitha, prenahe kang sinembah, Wrekudara duk miyarsi, ndheku nor raga,
dene Sang Wiku sidik.
Artinya :
Kertas
kuning dikira emas mulia, demikian pula orang berguru, bila belum
paham, akan tempat yang harus disembah, Wrekudara ketika mendengar itu,
terduduk merendahkan diri, sedangkan sang wiku cermat.
Toya
piyak dadya sila Wrekudara, umatur meminta sih, anuwun jinatyan,
pukulun sinten tuwan, dene neng ngriki pribadi, Sang Marbudyengrat,
angling Sang Dewa Ruci.
Artinya :
Air
menyibak menjadi tempat duduk bagi Wrekudara, berkata meminta kasih,
mohon diyakini, siapakah tuanku sebenarnya, mengapa di sini sendirian,
Sang Marbudyengrat, berkatalah Sang Dewa Ruci.
Sena
matur pukulun yen makatena, kawula anuwun sih, saking tan uninga,
puruhitaning badan, sasat sato wana inggih, tan mantra-mantra, waspadeng
badan suci.
Artinya :
Sena
berkata jika demikian, saya ingin meminta kasih, dan petunjuk karena
tidak tahu, pengabdian diri ini sama seperti hewan hutan, tidak
seberapa, waspada kepada badan yang suci.
Langkung
muda punggung cinacad ing jagad, kesi-esi ing bumi, angganing curiga,
ulun datanpa wrangka, wacana kang tanpa siring, ya ta ngandika, Manis
Sang Dewa Ruci.
Artinya :
Lebih
bodoh tolol dan penuh kekurangan di dunia, ditertawakan di mana-mana,
bagaikan tubuh keris yang tanpa kerangka, perkataan tanpa batas,
berkatalah dengan manis Sang Dewa Ruci.
… Wrekudara Masuk Dalam Tubuh Menerima Ajaran Tentang Kenyataan …
Kidung Dhandhanggula
Lah
ta mara Wrekudara aglis, umanjinga guwa garbaningwang, kagyat miyarsa
wuwuse, Wrekudara gumuyu, sarwi ngguguk aturireki, dene paduka bajang,
kawula geng luhur, nglangkungi saking birawa, saking pundi margane
kawula manjing jenthik masa sedhenga.
Artinya :
Segeralah
kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, terkejut mendengar
kata-katanya, Wrekudara tertawa, dengan terbahak-bahak, katanya, tuan
ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk,
kelingking pun tidak mungkin dapat masuk.
Dewa
Ruci mesem ngandikaris, gedhe endi sira lawan jagad, kabeh iki saisine,
alas myang gunungipun, samodra lan isine sami, tan sesak lumebuwa, ing
jro garbaningsun, Wrekudara duk miyarsa, esmu ajrih kumel sandika
turneki, mengleng Sang Ruci Dewa.
Artinya :
Dewa
Rcuci terseyum dan berkata lirih, besar mana dirimu dengan dunia ini,
semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak
sarat masuk ke dalam tubuhku, Wrekudara setelah mendengar, agak takut
menyatakan mau, berpalinglah Sang Dewa Ruci.
Iki
dalan talingan ngong kering, Wrekudara sigra manjing karna, wus
prapteng ing jro garbane, andulu samodra gung, tnapa tepi nglangut
lumaris, ngliyek adoh katingal, Dewa Ruci nguwuh, heh apa katon ing
sira, dyan umatur Sena pan inggih atebih, tan wonten katingalan.
Artinya :
Di
dalam telingaku yang kiri, Wrekudara segera masuk telinga, sudah sampai
di dalam tubuhnya, melihat laut luas, tanpa tepi jauh sekali ia
berjalan, tampak jauh terlihat, Dewa Ruci berteriak, hai apa yang kau
lihat, Arya Sena berkata bahwa tampah jauh, tak ada yang tampak.
Awang-awang
kang kula lampahi, uwung-uwung tebih tan kantenan, ulun saparan-parane,
tan mulat ing lor kidul, wetan kulon boten udani, ngandhap nginggil
myang ngarsa, kalawan ing pungkur, kawula datan uninga, langkung bingung
Sang Dewa Ruci lingnyaris, aywa maras tyasira.
Artinya :
Langit
luas yang kutempuh, langit yang sangat luas, aku pergi ke mana-mana,
tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah atas
dan depan, serta di belakang, aku tidak tahu, bingung sekali sang Dewa
Ruci berkata pelan, jangan taku tenangkan dirimu.
Byar
katingal ngadhep Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku kawangwang, umancur
katon cahyane, nulya wruh ing lor kidul, wetan kulon sampun udani,
nginggil miwah ing ngadhap, pan sampun kadulu, kawan umiyat baskara, eca
tyase miwah Sang Wiku kaeksi, aneng jagad walikan.
Artinya :
Tiba-tiba
terang tampaklah Dewa Ruci, Wrekudara Sang Wiku terlihat, memancarkan
sinar, kemudian tahu utara selatan, timur barat sudah tahu, di atas dan
dibawah, juga sudah diketahui, kemudian terlihat matahari, nyaman rasa
hati melihat Sang Wiku, di balik dunia ini.
Dewa
Ruci suksma lingiraris, aywa lumaku andedulua, apa katon ing dheweke,
Wrekudara umatur, wonten warna kawan prakawis, aktingal ing kawula,
sadayane wau, sampun boten katingalan, amung kawan prakawis ingkang
kaeksi, cemeng bang kuning pethak.
Artinya :
Dewa
Ruci berkata lirih, jangan berjalan lihat-lihatlah, apa yang tampak
olehmu, Wrekudara menjawab, ada empat macam benda yang tampak olehku,
semua itu, sudah tampak, hanya empat warna yang dapat kulihat, hitam
merah kuning dan putih.
Sang
Dewa Ruci ngandika malih, ingkang dhingin sira anon cahya, gumawang tan
wruh arane, Pancamaya puniku, sejatine ing tyasireki, pangarsane
sarira, tegese tyas iku, ingaranan muka sipat, kang anuntun marang sipat
kang linuwih, kang sejatining sipat.
Artinya :
Sang
Dewa Ruci berkata lagi, yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak
tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang
memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun
kepada sifat lebih, merupakan sifat itu sendiri.
Mangka
tinulak aywa lumaris, awasena rupa aja samar, kawasaning tyas empane,
tingaling tyas puniku, anengeri marang sajati, eca tyase Sang sena,
amiyarsa wuwus, lagya medhem tyas sumringah, ene ingkang abang ireng
kuning putih iku durgamaning tyas.
Artinya :
Lekas
pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati
tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, senang hati Sang
Sena, mendengarkan nasihat itu, ketika hatinya sedang bersuka-cita,
sedang yang berwarna merah hitam kuning dan putih, itu adalah penghalang
hati.
Pan
isine ing jagad mepeki, iya ati kang telung prakara, pamurunge laku
kabeh, yen bisa pisah iku, pasthi bisa pamoring gaib, iku mungsuhe tapa,
ati kang tetelu, ireng abang kuning samya, angadhangi cipta karsa kang
lestari, pamoring Suksm Mulya.
Artinya :
Isi
dunia ini sudah lengkap, yaitu hati tiga hal, pendorong segala langkah,
bila dapat memisahkan tentu dapat menyatu dengan gaib, itu adalah musuh
pendeta, hati yang tiga (curang), hitam merah kuning semua, menghalangi
pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Sukma Mulia.
Lamun
nora kawileting katri, yekti sida pamoring kawula, lestari
panunggalane, poma den awas emut, durgama kang munggeng ing ati,
pangwasane weruha, wiji-wijinipun, kang ireng lueih prakosa, panggawene
asrengen sabarang runtik, andadra ngambra-ambra.
Artinya :
Jika
tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu akan terjadi persatuan
kawula/rakyat, abadi dalam persatuan, perhatikan dan ingatlah,
penghalang yang berada dalam hati, ketahuilah benih-benihnya, yang hitam
lebih perkasa, kerjanya marah terhadap segala hal, murka secara
menjadi-jadi.
Iya
iku ati kang ngadhangi, ambuntoni marang kabecikan, kang ireng iku
gawene, dene kang abang iku, iya tuduh nepsu kang becik, sakehe
pepinginan, metu saking ngriku, panas baran panastenan, ambuntoni marang
ati ingkang eling, marang ing kawaspadan.
Artinya :
Itulah
hati yang menghalangi, menutupi tindakan yang baik, yang hitam itu
kerjanya, sedangkan yang merah, menunjukkan nafsu yang baik, segala
keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi kepada hati yang sadar,
kepada kewaspadaan.
Dene
iya kang arupa kuning, panggawene nanggulang sabarang, cipta kang becik
dadine, panggawe amrih tulus, ati kuning ingkang ngadhangi, mung
panggawe pangrusak, binanjur linantur mung kang putih iku nyata, ati
anteng kang suci tan ika iki, prawira ing kaharjan.
Artinya :
Sedangkang
yang berwarna kuning, kerjanya menanggulangi segala hal, pikiran yang
baik jadinya, pekerjaan agar lestari, hati kuning yang menutupi, hanya
suka merusak, kemudian yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci
tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian.
Amung
iku kang bisa nampani, ing sasmita sajatining rupa, nampani nugraha
nggone, ingkang bisa tumaduk, alestari pamoring kapti, iku mungsuhe
tapa, ati kang tetelu balane tanpa wilangan, ingkang putih tanpa rowang
amung siji, mulane gung kasoran.
Artinya :
Hanya
itu yang dapat menerima, akan firasat hakikat warna, menerima anugrah
tempatnya, yang dapat melaksanakan, mengabdikan persatuan keinginan, itu
musuh pertapa, hati yang tiga (curang) kawannya sangat banyak, yang
berwarna putih hanya seorang diri tanpa kawan, maka ia sering kalah.
Iya
lamun bisa nembadani, marang sesuker telung prakara, sida ing kono
pamore, tanpa tuduh puniku, ing pamore Kawula Gusti, Wrekudara miyarsa,
sengkut pamrihipun, sangsaya birahinira, iya marang kauwusaning ngaurip,
sampurnaning panunggal.
Artinya :
Memang
bila dapat memenuhi, kepada tiga hal yang merusak di situlah letak
persatuannya, tanpa pedoman tentang persatuan makhluk dan pencipta,
Wrekudara mendengar, dengan giat ia berusaha, dengan penuh tekad, untuk
mencapai pedoman hidup, demi kesempurnaan persatuan.
Sirna
patang prakara na malih, urub siji wolu warnanira, Wrekudara lon ature,
punapa wastanipun, urub siji wolu kang warni, pundi ingkang sanyata,
pundi kang satuhu, wonten kadi retna muncar, wonten kadi maya-maya
angebati, wonten abra markatha.
Artinya :
Setelah
hilang empat hal itu ada lagi, nyala satu delapan warnanya, Wrekudara
pelan bertanya, apakah namanya, nyala satu dengan delapan warna, mana
yang nyata, mana yang sesungguhnya, ada yang seperti ratna bersinar, ada
yang maya-maya bergerak cepat, ada manik-manik yang berkilat-kilat.
Marbudyengrat
angling Dewa Ruci, iya iku sanyatane tunggal, saliring warna tegese,
wus ana ing sireku, kabeh iya isining bumi, ginambar aneng sira, lawan
jagad agung, jagad cilik, tan prabeda, purwa ana lor kulon kidul puniku,
wetan luhur ing ngandhap.
Artinya :
Marbudyengrat
berkata sang Dewa Ruci, itulah sesungguhnya yang disebut tunggal, semua
warna itu artinya sudah ada padamu, semua itu ialah isi dunia ini,
digambarkan atas dirimu, dan dunia yang agung, jagad kecil tak berbeda,
timur ada utara, barat dan selatan itu, timur luhur di bawah.
Miwah
ireng abang kuning putih, iya panguripe kang bawana, jagad cilik jagad
gedhe, pan padha isinipun, tinimbangken ing sira iki, yen ilang warna
ingkang, jagad kabeh suwung, saliring reka tan ana, kinumpulken aneng
rupa kang sawiji, tan kakung tan wanodya.
Artinya :
Dan
hitam merah kuning putih, ialah kehidupan di dunia, alam kecil dan alam
besar, memang sama isinya, pertimbanglanlah plehmu, bila hilang warna
yang, semua alam akan sepi, semua usaha tidak akan ada, dikumpulkan atas
satu rupa saja, tidak lelaki tidak perempuan.
Kadya
tawon gumana puniki, kang asawang lir peputran dhenta, tah payo dulunen
kuwe, Wrekudara andulu, ingkang kadya peputran gadhing, cahya muncar
kumilat, tumeja ngenguwung, punapa inggih punika, warnaning Dzat kang
pinrih dipun ulati, kang sajatining rupa.
Artinya :
Bagaikan
lebah muda yang tampak bagaikan putih gading, marilah tengok, Wrekudara
melihat, sesuatu yang bagaikan berputra putih gading, cahaya memencar
berkilat, berpelangi melengkung, apakah gerangan itu, bentuk Dzat yang
dicari, yang merupakan hakikat rupa.
Anauri
ris Dewa Ruci, iku dudu ingkang sira sedya, kang mumpuni ambek kabeh,
tan kena sira dulu, tanpa rupa datanpa warni, tan gatra tan satmata, iya
tanpa dunung, mung dumunung mring kang awas, mung sasmita aneng ing
jagad ngebeki, dinumuk datan kena.
Artinya :
Menjawab
pelan Dewa Ruci, itu bukan yang kau cari, yang menguasai segala hal,
tak boleh kau lihat, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berujud dan
tidak tampak, ya tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang
yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini memenuhi, dipegang tidak
dapat.
Dene
iku kang sira tingali, kang asawang peputran mutyara, ingkang kumilat
cahyane, angkara-kara murub, pan Pramana aranireki, uripe kang sarira,
Pramana puniku, tunggal aneng ing sarira, naging nora milu suka lan
prihatin, enggone aneng raga.
Artinya :
Sedang
yang kau lihat itu, yang tampak seperti berputra mutiara yang berkilat
cahayanya, memancar menyala-nyala, itulah yang bernama sang Pramana,
kehidupan tubuhnya, sang Pramana menyatu dengan dirimu, tetapi tidak
ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuhmu.
Datan
milu mangan turu nenggih, iya milu lara lapa, yen pisah saking enggone,
raga kari ngalumpruk, yekti lungkrah badanireki, ya iku kang kuwasa,
nandhangrasanipun, inguripun dening Suksma, iya iku sinung sih anandhang
urip, ingaken rahsaning Dzat.
Artinya :
Tidak
makan dan minum, juga tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga tinggal tak berdaya, sungguh badan tanpa
daya, itulah yang mampu, merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma,
ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia Dzat.
Iya
sinandhangken ing sireki, nanging kadya simbar ing kakaywan, aneng ing
reraga nggone, uriping Pramaneku, inguripun ing Suksma nenggih, misesa
ing sabarang, Pramana puniku, yen mati melu kaleswan, lamun ilang
Suksmane sarira nuli, Uriping Suksma ana.
Artinya :
Juga
dikenakan kepadamu, tetapi bagaikan bulu pada hewan, berada di raga,
kehidupan Pramana dihidupi oleh Suksma yang menguasai segalanya, Pramana
bila mati ikut lesu, namun bila hilang kemudian, kehidupan Suksma ada.
Sirna
iku iya kang pinanggih, Uriping Suksma Ingkang Sanyata, kaliwatan
upamane, lir rasane kamumu, kang Pramana anresandani, tuhu tunggal
piangka, jinaten puniku, umatur Sang Wrekudara, inggih pundi warnane
ingkang sajati, Dewa Ruci ngandika.
Artinya :
Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, terlalu upamanya, bagaikan rasa kemumu (kepinding), Pramana anresandani, sebenarnaya satu asal, dibuktikan hal itu, berkata sang Wrekudara, iya benar bagaimana warna yang sejati, Dewa Ruci berkata.
Nora
kena iku yen sira prih, lawan kahanan samata-mata, gampang angel
pirantine, Wrekudara umatur, kula nyuwun pamejang malih, inggih kedah
uninga, babar pisanipun, pun patik ngaturaken pejah, ambebana
anggen-anggen ingkang yekti, sampun tuwas kangelan.
Artinya :
Hal
itu boleh kau ambil, dan keadaan semata-mata, mudah sulit sarannya,
Wrekudara berkata, aku minta ajaran lagi, juga harus tahu, sama sekali,
aku menyerahkan diri meminta dengan busana yang sebenarnya, janganlah
tanpa hasil.
Yen
makaten kula boten mijil, inggih eca neng ngriki, kewala, boten wonten
sangsayane, tan niyat mangan turu, bopten arip boten angelih, boten
ngrasa kangelan, boten ngeres linu, amung enak lan manfaat, Dewa Ruci
ngandika iku tan keni, yen nora lan antaka.
Artinya :
Jika
demikian saya tidak mau keluar, lebih baik tinggal di sini saja, tidak
ada hambatannya, tidak akan makan dan tidur, tidak mengantuk juga tidak
lapar, tidak mengalami kesulitan, tidak sakit-sakit ngilu, hanyalah enak
dan manfaat, Dewa Ruci berkata itu tidak boleh, jika belum mengalami
mati.
Sangsaya
sihira Dewa Ruci, marang kaswasih ingkang panedha, lah iya den awas
bae, mring pamurunging laku, aywana kekaremireki, den bener den waspada,
ing anggepireku, yen wus kasikep ing sira, aywa umung den nganggo parah
yen angling, yeku reh pepingitan.
Artinya :
Semakin
banyak ajaran Dewa Ruci, kepada Sang Kaswasih, yang memintanya, wahai
itu perhatikanlah, hal yang menggagalkan laku, jangan punya kegemaran,
bersungguh-sungguh dan waspadalah, dalam segala tingkah laku, jika semua
sudah kau dapatkan, jangan gaduh dalam berbicara, itulah hal yang
dirahasiakan.
Nora
kena yen sira rasani, lawan sama-samaning manusa, yen nora lan
nugrahane, yen ana nedya padu, angrasani rerasan iki, ya teka kalahana,
aja kongsi banjur, aywa ngadekken sarira aywa ngraket mring wisayaning
ngaurip, balik sikepen uga.
Artinya :
Tidak
boleh kau bicarakan secara sembunyi-sembunyi, dan sesama manusia, bila
tidak dengan anugrahnya jika berselisih, membicarakan bahan pembicaraan
ini, lekaslah kau mengalah saja, jangan sampai berlarut-larut, jangan
memajakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tetapi kuasailah.
Kawisayan
kang marang ing pati, den kaasta pamanthenging cipta, rupa ingkang
sabenere sinengker buweneku, rupa nora nan nguripi, datan antara masa,
iya ananipun, panwus ana ing sarira, tuhu tunggal sasat ana ing sireki,
wus dadi kekantenan.
Artinya :
Tentang
keinginan untuk mati, peganglah dalam pemusatan pikiran, rupa yang
sebenarnya, disimpan oleh buana, rupa tak ada yang menghidupi, tidak
seberapa waktu, memang keberadaannya, sudah melekat pada diri, sungguh
menyatu padu dengan dirimu, sudah menjadi kawan akrab.
Kidung Kinanthi
Tan
kena pisahna iku, tan waneh praptanta nguni, tunggal Kartining Buwana,
pandulu, pamiyarseki, iya wus ana ing sira, pamirsane Suksma Yekti.
Artinya :
Tak
dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu,
menyatu dengan kesejahteraan duni, penglihatan dan pendengaran, juga
sudah ada pada dirimu, pendengaran sukma sejati.
Tanpa
karna lan pandulu, netra karnanta kinardi, kahanane aneng sira, lair
suksma neng sireki, batin sira aneng Suksma, mangkene patrapireki.
Artinya :
Tanpa
telinga dan mata, mata dan telinga diciptakan, untuk dirimu lahirlah
sukma pada dirimu, batinmu dalam sukma bagitulah kenyataannya.
Pan
kaya wreksa tinunu, ananing kukusing geni, sartane kalawan wreksa, lir
toya alun jaladri, kadya menyak aneng puhan, raganira obah mosik.
Artinya :
Itu
bagaikan kayu dibakar, asapnya muncul dari api beserta pohon itu,
bagaikan air ombak lautan, bagaikan minyak dalam susu, tubuhmu bergerak
leluasa.
Sarta
nugraha satuhu, yen wruh ing paworireki, woring Gusti lan Kawula, sarta
panuwunireki, Suksma kang sinedya ana, dening ta warnanireki.
Artinya :
Serta
mendapatkan anugerah yang benar, jika tahu penyatuan ini, persatuan
khalik dan makhluk, serta permintaanmu, sukma yang diharapkan ada,
sedangkan bentuknya itu.
Wus
aneng sira nggonipun, lir wayang sariraneki, barang saparipolahnya,
saking dhadhalang kang kardi, kang minangka panggung jagad, kelir kang
kinarya ngringgit.
Artinya :
Sudah
ada pada dirmu, dirimu bagaikan wayang, segala gerak-gerik dari sang
dalang yeng memainkan, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan
untuk memainkan wayang.
Pamolahing
wayang iku, saking dhalang kang akardi, tumindak sarta pangucap,
dhalang wisesa akardi tan antara moring karsa, jer iku datanpa warni.
Artinya :
Gerakan
wayang-wayang dari ki dalang yang memainkan, berlaku dan berucap,
dalang berkuasa antara perpaduan kehendak, karena hal itu tidak
berbentuk.
Warna
wus aneng sireku, upama paesan jati, ingkang angilo Hyang Suksma,
wayanganira puniki, kang aneng jroning papaesan, jenenging kawula iki.
Artinya :
Warna
dan bentuk sudah ada padamu, seumpama hiasan yang sejati, tempat
bercermin Hyang Sukma, bayangannya itulah yang ada dalam hiasan, namanya
makhluk ini.
Neng
jro kaca rupanipun, luwih geng klepasan iki, gedhene kalawan jagad,
ageng kalepasan iki, poma salembuting toya, pan lembut kamuksan iki.
Artinya :
Di
dalam kaca rupanya, lebih besar dari yang diceritakan ini, daripada
besar jagad, besar yang diceritakan ini, seumpama selembut tetes air,
masih lebih kecil dan halus kematian.
Poma
saciliking tengu, cilik ing kamusan ugi, lire luwih amisesa, iya mring
sabarang kalir, lire ageng alitira, bisa nuksma ageng alit.
Artinya :
Seumpama
sekecil kutu, lebih kecil kematian ini, sesungguhnya lebih menguasai,
juga terhadap segala sesuatu, maksudnya besar kecilnya itu, dapat
menjelma dalam kematian besar dan kecil pula.
Kalimputan
kabeh iku, kang rumangkang aneng bumi, tuwin kang gumremet samya, tan
pae sadaya sami kaluwihan kang sanyata, pan luwih ingkang nampani.
Artinya :
Semua
itu tidak tahu karena tertutup, yang merangkak di tanah, serta yang
melata, tak berbeda semua memiliki kelebihan nyata, yang merasa lebih
banyak menerima.
Tan
kena ngendelken iku, ing warah lan wuruk sami, den sanget panguswanira,
wasuhen badanireki, weruha rungsiting tingkah, wuruk kang minangka
wiji.
Artinya :
Tidak
boleh menyombangkan diri, terhadap ajaran dan nasehat, hayatilah dengan
sungguh-sungguh, basuhlah dirimu, ketahuilah segala rahasia tingkah,
nasehat merupakan benih.
Poma
kang winuruk iku, sengga papan parang curi, kang amuruk upamnya, kacang
kedhelenireki, sinebar aneng sesela, yen watune tanpa siti.
Artinya :
Seumpama
yang diajari misalnya papan batu atau cadas, yang menasihati umpamanya,
kacang kedelai disebar di bebatuan, jika batu tanpa tanah.
Pasthi
nora bisa thukul, yen wicaksana sireki, iya iku tinggalira, sirnakna
ananireki, pan dadi tinggaling Suksma, rupa lan swaranireki.
Artinya :
Tentu
tidak akan tumbuh, jika kau bijaksana, tinggalkan hal demikian itu,
hilangkan adanya, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara.
Swara
ulihena iku, rupa mring kang darbe nguni, jer sira iku yektinya,
ingaken sesulih ugi, nanging aja duwe sira, pakareman tyasireki.
Artinya :
Suara
itu kembalikan, rupa kepada yang punya, pada pokoknya kau ini
sesungguhnya, hanya dijadikan pengganti, tetapi janganlah kau punya,
kegemaran dalam hatimu.
Liyane
marang Hyang Luhur, dadi awak Suksma ening, tingkah obah osikira, iya
iku dadi siji, ujer loro anggepira, yen dadi anggepireki.
Artinya :
Selain
kepada Hyang Luhur, menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku
akan menjadi satu, karena dua hal telah kau anggap, sudah menjadi diri
sendiri.
Yekti ngrasa loro iku, maksih was-was tyasireki, kena rengu sayektinya, yen wus wujud dadi siji, sakarenteke tyasira, ing saguh aja gumingsir.
Artinya :
Sesungguhnya
akan merasakan dua hal itu, masih ragu dalam hati, akan menjadi lekas
marah, jika sudah menyatu, setiap gerak, tentu juga merupakan
kehendakmu.
Tinaken
ananireku, ing sasejanira, prapti, wus kawengku aneng sira, jagad kabeh
jer sireki, kinarya gegentenira, ing saguh aja gumingsir.
Artinya :
Terkabul
itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada padamu, semua jagad
ini karena dirimu, merupakan pengganti, dalam segala janji janganlah
ingkar.
Yen
wus mudheng sira tuhu, kabeh ing pratingkah iki, den wingit miwah den
sasab tegesireki, pan pamer panganggonira, nanging ing batinireki.
Artinya :
Jika sudah paham, akan segala tanggungjawab, rahasiakan dan tutupilah maknanya, jangan pamerkan pakaianmu, tetapi dalam batinmu.
Sekedhap
pan kudu emut, aywa kongsi kena lali, ing laire sasabana, kawruh kang
patang prakawis, padha anggepen sadanya kalimane siji iki.
Artinya :
Sebentar
pun harus kau ingat, jangan sampai kau terlupa, dalam kenyataan
tutupilah, akan empat macam hal, anggaplah semuanya termasuk kelimanya
ini.
Ingkang
pramati satuhu, kangge kene kana ugi, lir mati sajroning gesang, lir
urip sajroning pati, urp bae salaminya, kang mati puniku ugi.
Artinya :
Yang
terbaik, untuk di sini dan di sana juga, bagaikan mati di dalam hidup,
bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga.
Ya
iku kang marang nepsu, badanira iku darmi, ing lair anglakonana,
katampan badanireki, paworing sawujud tunggal, pagene angrasa mati.
Artinya :
Ya
itu yang menuju pada nafsu, badan sekedar melaksanakan secara lahir,
diterima badan ini, perpaduan sewujud tunggal, mengapa merasa mati.
Wrekudara
duk angrungu, pangandikanya Sang Yogi, tyaira padhang narawang, suka
denira nampani, cipta katiban nugraha, nugraha wahyu sayekti.
Artinya :
Wrekudara
setelah mendengar perkataan sang guru, hatinya terang-benderang,
menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugrah,
anugerah wahyu sesungguhnya.
Kadya
sasngka puniku, katawengan dening riris, ciptaning wahyu nugraha, ima
nirmala upami, sumilah rereged ilang angling malih Dewa Ruci.
Artinya :
Bagaikan
rembulan terhalang oleh hujan, memikirkan wahyu nugraha, seumpama
mendung suci, menyingkir kotoran kemudian hilang, berkata lagi Dewa
Ruci.
Sena surupa sireku, iya kang sira lakoni, nora ana aji paran, kabeh wus kawengku ugi, tan ana ingulatana, kadigdayan guna sekti.
Artinya :
Sena
ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada aji paran, semua sudah
kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan.
Kabeh-kabeh
wus kapungkur, kaprawirannya ngajurit, karana tuhu tyasira, iya
nggonira nglakoni, Sena umatur sandika, kapundhi mustaka kalih.
Artinya :
Semua
sudah berlalu, keberanian dalam berperang, karena kesungguhan hati
ialah dalam cara melaksanakan, Sena berkata sanggup, akan dicamkan di
dalam hati dan pikiran.
———- Wrekudara Sudah Jernih Pikirannya ———-
Wau
Dewa Ruci sampun, telas pamulangireki, Wrekudara wus tan kewran, denira
sampun udani, namane ing badanira, solah lampahing ngajurit.
Artinya :
Dewa
Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara sudah tidak bingung
lagi, semua sudah dipahami, merasuk kedalam diri, dalam segala ulah
tanding.
Ardaning
kang swara muluk, tanpa elar njajah bangkit, sawengkoning jagad traya,
uga wus kawengku sami, pantes pamathining basa, lir upama sekar sari.
Artinya :
Sangat
berlebihan suara membumbung, tanpa sayap dapat melanglang, segala
penjuru jagad ini, sudah dikuasai juga, pantaslah susunan bahasanya,
bagaikan sekumtum bunga.
Kekudhupe
maksih kuncup, mangkya mekar mbabar sami wuwuh warna lan gandanya, kang
Pancaretna wus keni, medal saking guwagarba, wus salin alamireki.
Artinya :
Kuntumnya
masih kuncup, sekarang mekar mengembang semakin indah dan berbau harum,
sang Pancaretna sudah diperbolehkan keluar keluar dari tubuh, sudah
berganti alamnya.
———- Sudah Keluar Dari Tubuh Dewa Ruci ———-
Angulihi
alamipun alam kamanungsanneki, Sang Dewa Ruci wus sirna, dinulu datan
kaeksi, ngungun Raden Wrekudara, wasana suka ing galih.
Artinya :
Kembali ke alam kemanusiaan, Sang Dewa Ruci sudah sirna, dilihat tidak tampak, heran Raden Wrekudara, akhirnya gembira hatinya.
Cipta
nugraha satuhu, lulus saking ing gandaning, jatining kasturi mekar, wus
sirna papa ning galih, leksana salekering rat, pamulang kang angenomi.
Artinya :
Mengharap
anugrah sejati, berhasil mendapatkan baunya, bunga kasturi yang mekar,
hilanglah kekalutan hatinya, laksana selingkar dunia, ajaran kepada yang
lebih muda.
Kidung Sinom
Ujar
wruh patakanira, sirna nirmalaning galih, pan mung narima satitah, lir
kadya angganireki, anggane busana di, sutra maya-maya alus, sinuksma
ingemasan, sinesotnya manik, manik, Wrekudara weruh pakenaking tingkah.
Artinya :
Kata
dengan mara bahayanya, hilanglah kesucian hati, bukankah hanya sekedar
melaksanakan, seperti dirimu itu, tubuh dengan busana indah, sutra maya
halus, diperhalus dengan emas, perhiasan manik-manik, Wrekudara tuhu
hikmah tingkah demikian.
Mila
sumping puspa kresna, winarnendah kang sarwa di, kintaki sekar sumekar,
nama kasturi sajati, sekar kasturi jati pratandhanira, tan korup ing
pangawikan: kenaka, kalih pancanaka lungid, angungkabi kabisan tan
kaliruwa.
Artinya :
Maka
menyunting bunga berwarna hitam, berwarna indah serba menawan, tersurat
bunga mekar, bernama kasturi sejati, bunga kasturi sejati sebagai
tanda, tak sesuai dengan kemampuan kuku, dengan ujung kuku yang tajam,
mengungkap kemampuan tidak keliru.
Poleng
bang bintulu lima, winarneng uraganeki, lancingan lan kampuhira,
mangkana pangemutanneki, titika duking nguni, neng jro guwagrbanipun,
Sang Dewa Ruci dennya mangerti ireng bang kuning pamurunge laku
ngandhangi tyas arja.
Artinya :
Kain
merah tampak catur merah, dihiaskan kepala, celana dan kain dodot,
padahal sudah di ingat, perhatikan masa lalu, ketika masih di dalam
tubuh Sang Dewa Ruci, dinasihati tentang warna hitam, merah, kuning,
merupakan penghalang tugas dan merintangi hati yang berniat baik.
Kang
warna putih ing tengah, sidaning pangangkuhneki, kalima ingkang
ginambar, wus kaasta sadayeki sanalika tan lali, saking ambek satya
tuhu, marma Sang Wrekudara karya ampung aling-aling, pambengkasing
sumungah jub riyanira.
Artinya :
Yang
berwarna putih di tengah, jadi sumber keangkuhan, kelima yang
digambarkan, sudah dibaw semuanya seketika, tak akan terlupakan, oleh
karena seorang satria yang baik, maka Sang Wrekudara, membuat tirai
untuk bersembunyi, untuk membasmi kesombongan pada dirinya.
———- Tujuan Mati Yang Salah ———-
Kaesthi
ing dalu siyang, kathah denira miyarsi, para wiku pratingkahnya, kang
luput anggepireki, kawruh pangijabneki, wus bener panarkanipun, wasana
tanpa dadya, kawilet tatrapanneki, ana ingkang mati dadya manuk engkuk.
Artinya :
Dipikirkan
siang dan malam, banyak yang didengarnya, tentang tingkah para pertapa
yang berpikiran salah, akan ilmu ijab, mengira sudah benar, akhirnya tak
berdaya, dililit oleh penerapannya, ada yang mati menjelma burung
engkuk.
Mung
malih kang pepencokan, kayu kang warnanira di, nagasari lan angsana,
tanjung lan wreksa waringin, kang tuwuh aneng pinggiring pasar kang
manuk engkuk, angungkuli wong pasar, pindha kamukten kang pinrih, pan
kasasar iku anasar mbelasar.
Artinya :
Hanya
memilih tempat hinggap, kayu yang berwarna baik, kayu nagasari dan
anhsana, tanjung dan pohon beringin yang tumbuh di tepi pasar sang
burung engkuk, melebihi orang-orang pasar, seperti mengharap kemuliaan,
yang akhirnya tersesat dan terjerumus.
Ana
nitis para raja, asugih rajabrana di, lawan sugih wanodya endah, tuwin
sugih putra putri, ingkang arsa mengkoni, siji-siji karemipun, samyantuk
kaluwihan, ing panitisira nenggih, yen mungguha Dyan Wrekudara tan
arsa.
Artinya :
Anak
yang menitis (reinkarsani) menjadi raja, yang kaya harta benda, dan
memiliki banyak wanita cantik, serta mempunyai banyak putra-putri yang
akan menguasai, setiap kesukaannya, semua mendapatkan kelebihan, dalam
proses penitisan, bagi sang Wrekudara tidak akan.
Pan
ana amung murih pribadya, iya sariraneki, sadaya iku ingaran, tibane
tan pana yekti, pan durung nama jalmi, ingkang utama satuhu, kang
mengkono anggepnya, pangrasanira ing nguni, nemu suka suka sugih singgih
badanira.
Artinya :
Yang
ada hanya pribadi, terhadap diri sendiri, semuanya dikatakan, jatuhnya
tidak tepat benar, belum dapat disebut makhluk, yang sangat utama,
demikianlah pengakuannya, yang dirasakan dahulu, menemukan suka kaya
lagi berpangkat tinggi dirinya itu.
Tan
wruh yen nemu deduka, kabanjur mangkono ugi, manitis ing sato kewan,
tanpa wekas dennya nitis, tangeh tan manggih asil, tan mbabar pisani
iku, luput kacakrabawa, saking karemireng nguni, pati panitisan koneng
tibanira.
Artinya :
Tidak
tahu jika mendapat marah (dimarahi), terlanjur demikian, ia menitis
pada hewan-hewan, tanpa bekas titisannya, tak mungkin akan berhasil,
tidak sama sekali, salah dalam perkiraan, oleh kegemarannya di masa
lalu, mati menitis jatuhnya.
Tan
kuwat parenging pejah, keron kasamaran ugi, mangsah wowor sambu samya,
pan saking abotireki, ulah kamuksan titis wus datan nolih ing pungkur,
bapa biyang lan suta, jroning mrih wekasan nenggih, yen luputa patakaning bumi pala.
Artinya :
Tidak
kuat menuju matinya, bingung dan tertutup juga melawan secara menyamar
bersatu dengan orang banyak, oleh terlalu beratnya, gerakan menuju
matinya dan menitis tidak akan menoleh kebelakang, ayah, ibu dan anak,
dalam mencapai akhir, jika salah menjadi petaka dunia.
Leheng
aywa dadi jalma, sato gampang tingkahneki, tanpa tutur sirnanira, yen
aris benering kapti, langgeng puniku ugi, tanpa karena satuhu, pama
angga buwana, tan lir sela menengneki, eningira iya nora kadi tirta.
Artinya :
Lebih
baik jangan jadi manusia, hewan lebih mudah bertingkah, tanpa kata-kata
sirna, bila secara pelan akan menuju kebenaran tyjuan, abad itu juga,
tanpa sarana sebenarnya, seumpama diri adalah dunia, tak sperti batu
diam, jernihnya pun tidak seperti air.
Warata
tanpa tuduhan, liyaning pandhita nganggepi, ing kamuksan peksanira,
njangkung kasutapaneki, nyana ingangkuh keni, mung lan tapa tanpa tuduh,
tanpa wit puruhita, suwunging ciptanireki, durung antuk pratikel wuruk
kang nyata.
Artinya :
Merata
tanpa petunjuk, selain pendeta menganggap, dlam kematian yang
dipaksakan, mendukung kepertapaannya, mengira akan dapat dicapai, dengan
cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, kekosongan pikiran,
belum mendapatkan petunjuk yang nyata.
Pratingkah
angayawara, tapaning raga runting, denira amrih kamuksan, tanpa tutur
sirnaneki, wuk tapanira ugi, dene kang lestari iku, tapa iku minangka,
ragining sariraneki, ilmu iku iya kang minangka ulam.
Artinya :
Tingkahnya
seenaknya sendiri, bertapa dengan merusak tubuh, dalam mencapai
kamuksan, tanpa kata ia hilang, gagallah bertapanya itu, sedangkan yang
dikatakan lestari, bertapa digunakan sebagai, ragi bagi tubuhnya, ilmu
itu merupakan lauknya.
Yen
tanpa ilmu tapanya, iya nora bisa dadi, lamun ilmu tanpa tapa, cemplang
nora wurung dadi, asal puniku ugi, tan kawilet tatrapipun, kacagak
bekanira, dadya keh pandhita sandi sinatengah wuruke mring cantrikira.
Artinya :
Jika
bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, jika ilmu tanpa
dijalankan, hambar tidak mungkin jadi, asal semua itu juga, tidak
dililit oleh penerapannya, ditopang kesulitan, jadi banyak pendeta,
setengah-tengah dalam memberikan ajaran kepada muridnya.
Cantrikira
landhep prinyangga, wedharira kang linempit, raose punika mulya,
ngaturaken guruneki, pemedharira nenggih, mung saking graitanipun,
nguni-uni punika, durung mambu warah yekti saking dene tan eca ing manahira.
Artinya :
Muridanya
pandai dengan sendirinya, ajaran yang disimpan dirasakan mulia, memberi
tahu gurunya, ajarannya itu hannya dari pikiran, di masa lalu itu juga,
belum pernah mendapatkan ajaran yang benar, jadi tidak enak dalam
hatinya.
Dadya
katur gurunira, gurune ngungun miyarsi, ngugemi ing aturira,
sinemantakaken maring, wiku kang luwih-luwih pasthi anggepnya satuhu,
iku wahyu nugraha, tiba ing angga pribadi, cantrikira pan lajeng ingaku
anak.
Artinya :
Kemudian
disampaikan kepada gurunya, gurunya heran mendengar hal itu, memegang
teguh kata-katanya yang diperoleh dari, wiku yang punya kelebihan, tentu
dianggap suatu kebenaran, itu wahyu anugrah, jatuh kepada dirimu,
cantrik itu kemudian di akui sebagai anak.
Tinari
sinungga-sungga, marang ing guruneki, guru yen arsa amejang, ………. tan
tebih sinandhing linggih, cantrik sabatireki, satemahan dadya guru,
gurune dadya sabat, lepas panggraiteng batin, nandukaken sarta kang
wahyu nugraha.
Artinya :
Ditanya
mau atau tidak untuk diangkat oleh gurunya, jika gurunya akan memberi
ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, kemudian
menjadi guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabatnya, kemudian menjadi
guru, sedangkan gurunya itu menjadi sahabat, lepas dari pemikiran
batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh.
Yeku
utama kalihnya, kang satengah pandhiteki, durung sekti tapanira,
kaselak tyasira nuli, ngaku wiku linuwih saujare kudu tinut, lumaku
sinembaha nggenira neng puncak wukir swaranira nguwuh ngebeki pratapan.
Artinya :
Itu
keutamaan bagi keduanya, pendeta yang setengah-setengah, belum sakti
dalam bertapa, terburu hatinya lalu, mengaku sebagai pendeta sakti
setiap katanya harus dianut, berjalan-jalan disembah, tinggal di puncak
gunung, bersuara keras memenuhi pertapaan.
—————- Pralambang Ilmu Sejati —————-
Lamun
ana wong marak, ndharidhit wekasireki, lir gubar bendhe tinatab,
kumarampyang tanpa isi, tuna denira sami, ngeguru pandhita bingung, iku
aja mangkana, tingkahing ngurip puniku, badan iki bisa kadi wayang.
Artinya :
Bila
ada orang yang menghadap kepadanya, panjang lebar pesan yang
diberikannya, bagaikan gong yang dipukul, banyak yang dikatakan tetapi
tanpa isi, semua menjadi rugi, berguru kepada pendeta bingung, janganlah
kau begitu, tingkah manusia hidup, usahakan dapat seperti wayang.
Kinudang
neng pepanggungan, neng kelir denira ngringgit, arja tali banyunira,
padhanging panggungireki, damar surya lan sasi, kelirira alam suwung,
ingkang ananggap cipta, bumi gadebogireki, adegira wayang sinangga kang
nanggap.
Artinya :
Dimainkan
di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan
yang dipasang, yang merupakan lampu panggungnya, adalah matahari dan
rembulan, dengan layarnya berupa alam yang sepi, yang melihat adalah
pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang
menyaksikan.
Neng
dalemira kang nanggap, pangulah karsa tan mosik, pramana dhadhalangira,
marang adeging kang ringgit, ana ugi dul lor tuwin, ngulon mangetan
puniku, iku ta pamanira, mangkana kang sarireki, solah kendel
sinolahaken ki dhalang.
Artinya :
Ketika
dirumah orang yang menonton, pengolah kehendak mengolah karsa yang
tidak tergerakkan, kecerdikan kidalang, atas gerak-gerik sang wayang,
ada juga selatan utara, barat serta timur, itulah umpanya, demikianlah
tubuhnya, gerak dan diamnya dimainkan oleh ki dalang.
Ingucapken
yen kumecap, tinutur sakarsaneki, kang nonton ing solahira, yen saking
dhalang kang kardi, kang aneng ngandhap kelir, mangkana jagad tan ana
wruh, kang nanggap tan katingal, aneng jro wismaneki, tanpa warna Hyang
Suksma tan katingalan.
Artinya :
Disuarakan
bila harus berkata-kata, dikatakan segala kehendaknya, yang melihat
ulahnya, bahwa itu dari ki dalang, yang berada dibalik layar, padahal
jagad tidak ada yang tahu, yang menonton tidak terlihat, di dalam
rumahnya, tanpa bentuk Hyang Sukma tidak tampak.
Sang
Pramana dennya mayang, ngucapken lampahing ringgit, tan awas
sasananira, wimbuh pan nora tut wuri, ing sariraneki, menyak munggeng
puhan iku, lir geni munggeng wreksa, tan katedah andherpati, kang
Pramana kadya gesenging kang wreksa.
Artinya :
Sang cerdik dalam menjalankan wyang-wayangnya, menyampaikan laku-laku
wayang, tidak jelas tempatnya, dan lagi tidak mengikuti di belakang,
dalam dirinya, minyak yang bercampur dalam susu, bagaikan api dalam
kayu, tidak ditunjukkan untuk tidak takut mati, sang cerdik bagaikan
kayu yang sudah hangus.
Lelandhesan
sami wreksa, panggrit molah dening angin, kayu geseng kukus medal, tan
antara kukus agni, saking kayu wijiling, wruha eling mulanipun, kabeh
ingkang gumelar, saking heb manusa jati, kang tinitah luwih pan ingaken
rahsa.
Artinya :
Bertumpukan
sesama kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap,
sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu,
ketahuilah asal mulanya, semua yang tergelar, oleh perlindungan manusia
jati, yang ditakdirkan lebih diakui sebagai rahasia.
Kinarya
mulya pribadya, sasamanireng dumadi, aja mengeng ciptanira, tunggal
saparibawaneki, kabeh isining bumi, anggep siji manuseku, mengku sagung
kahanan, den wrh wisesaning tunggil, anuksmani saliring jagad dumadya.
……………………………….
Alang Alang Kumitir
Alang Alang Kumitir
termangu sang bima di tepian samudera
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia mana pun.
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
‘apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini’
‘apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini’
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
‘makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
sang sena semakin termangu menduga-duga,
dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
dan siapa sebenarnya diriku ini
dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
dan siapa sebenarnya diriku ini
ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
yang tahu segalanya tentang dirimu
anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka.
yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka.
datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
yang tahu segalanya tentang dirimu
anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka.
yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka.
datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
terasa bagai keris tanpa sarungnya
agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
terasa bagai keris tanpa sarungnya
sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas,
mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
lanjut sang marbudyengrat
lanjut sang marbudyengrat
sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
kelingking pun tak akan mungkin muat.
wahai werkudara si dungu anakku,
sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
wahai werkudara si dungu anakku,
sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
yang telah terangsur ke arahnya
dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
yang telah terangsur ke arahnya
heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
segala yang kau saksikan di sana
hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
segala yang kau saksikan di sana
hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
senantiasa akan ada pertolongan dewata
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?
ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
semakin cerah rasa hati hamba.
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
bukan, anakku yang dungu, bukan,
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci,
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
dan blassss . . . !
sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
MAKNA SERAT DEWA RUCI
Cerita
Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr.
Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal
tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap
Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah
kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana
Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang,
Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam
bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi
R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
“angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
“angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan” .
Dalam
Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan
“bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa
Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan
mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila
preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R.
Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di
perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya
pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana,
dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan
perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru
kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia
mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman
bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan
Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu – Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu – Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah
ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada
bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa,
Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.”Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.”Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras,” begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
“Aduhai,
biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki
tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan
mundur,” kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman
yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada
keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat
dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia
hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari
tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia
kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu
gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah
terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa
dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan
perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan?
The life you seek, you will not find
Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan
When the gods created man,
Saat tuhan menciptakan manusia
They apportioned death to mankind;
Mereka menunjukkan mati pada umat manusia
And retained life to themselves
Dan memberi pemahaman pada hidup mereka
O Gilgamesh, fill your belly,
O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan?
The life you seek, you will not find
Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan
When the gods created man,
Saat tuhan menciptakan manusia
They apportioned death to mankind;
Mereka menunjukkan mati pada umat manusia
And retained life to themselves
Dan memberi pemahaman pada hidup mereka
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
Kawinilah siang dan malam
Make of each day a festival of joy,
Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura
Dance and play, day and night!
Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam
Let your raiment be kept clean,
Jagalah kesuciannya
Your head washed, body bathed,
Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Pegang dengan tanganmu
Let your wife delighted your heart,
Biarkan isterimu memegang jiwamu
For in this is the portion of man
Inilah bukti kemanusiaanmu
Kawinilah siang dan malam
Make of each day a festival of joy,
Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura
Dance and play, day and night!
Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam
Let your raiment be kept clean,
Jagalah kesuciannya
Your head washed, body bathed,
Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Pegang dengan tanganmu
Let your wife delighted your heart,
Biarkan isterimu memegang jiwamu
For in this is the portion of man
Inilah bukti kemanusiaanmu
Tetapi
Gilgamesh tidak ingin berkutat pada “the portion of man”.Ia ingin
mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya
kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu,
lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan
Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang
menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya
perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha
mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam
keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta)
(manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara
total.
Keadaan spiritual ini bisa
dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang
mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus
dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan
penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna
bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta,
rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu
hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional
yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang
mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan
tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi,
tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni.
Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang
percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya
misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi,
Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam
tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan
orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari,
seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya
setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam
seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah
wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh
dalam wayang.
Perkembangan budaya
jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi
pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai
berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut
dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur
kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur
kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan
orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat
kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko
guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah,
air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah
baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan
adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu
tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut
dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser
dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh
kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada
simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang
mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa
Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang
jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang
diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk
kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:”Serat
Dewaruci Kidung” yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus
dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa
Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu
bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan
pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke
dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga
adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai
kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah
sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena
mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh
oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang
Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan
Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya
sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara
halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan
Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden
Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma,
Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan
lainnya.
Kemudian Durna memberi
petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka
akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup
kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan
Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua.
Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu
keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum,
membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua
raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk
sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum
sepuas-puasnya.
Setelah sampai di
gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di
gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan
niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat
ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian …….Namun dalam
perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas
batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan
mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan
berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena
kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya
di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana,
Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena,
lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut….! atas kedatangan Sena.
Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna
:bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari,
sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk
meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi….., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah
menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan
dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik
berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk
Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya,
senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena
ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu,
yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua
sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena
berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun
gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang
baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan
datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi
petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi
Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi,
walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka
akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang
sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan
kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke
dalam samudera.
Dengan suka cita ia
lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis,
menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan
marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak
kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air
menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara
itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu
Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal
dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang
dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas,
diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan
hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali
dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan
dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut,
bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :”Sena apa kerjamu, apa tujuanmu,
tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan,
tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang
tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan”. Dikatakan pula
:”Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika
tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya
serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang
untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan”.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
“Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya”, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian
dikatakan :”Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila
belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama
pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi
dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung
akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas
mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang
harus disembah”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan “Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku”, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :”Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk”.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:”besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku”.
Atas
petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri.
Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan
selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan
belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang
hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan
menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik,
segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih
berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah
penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu
Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung,
bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu
bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa
bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat
tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat
di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan
diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat
tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit
dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan
tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh
suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan
Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila
mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah
yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang
keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak
mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana,
keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan
akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu
dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan
manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang
memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak,
dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan
panggungnya.
Penerima ajaran dan
nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan
sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui
ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu
tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan
hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang
Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu,
sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan
kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua
sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam
segala janji janganlah ingkar.
Jika
sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang
terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam
hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu
juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju
pada nafsu.
Wrekudara setelah
mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan
suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu
sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :”Sena ketahuilah
olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah
kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa
tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan,
melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara
bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran,
belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya,
bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah
bertapanya itu.
Guru yang benar,
mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat
duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya,
mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :”Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini”.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru
Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita
dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi
Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air
suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung
Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau,
ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya
cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi
yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu
sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2.
Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan
kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki
gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat
yang tinggi.
Pandangan atau paningal
sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat
yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau
sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang
digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi
ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di
hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam
pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima
berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya
berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala
: Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang
datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan
seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima
tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang
ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh
kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan
menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan
gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan
tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima
akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya
berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke
samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang
yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan
mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular
adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu
pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk
mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya
mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan
kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6.
Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk
berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk
menghindari perbuatan jahat.
7.
Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau
napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada
kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12.
Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar,
makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak:
minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih
minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu
harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering
bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah
Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu
dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti
dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah
kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga
melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
-
Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur
pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa
hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam
paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya
terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima
telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam
dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam
istilah spiritual disebut “mati dalam hidup” dan juga disebut “hidup
dalam mati”. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini
sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa
dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu
keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima
mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah
mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada
lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar.
Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang
terdapat didalam paningal.
Batik
poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning
dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan
mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk
mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata
asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada
laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan
duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2.
Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari
persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah
orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya
lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka
menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
sumber : http://ujekuye.blogspot.com